Part 45. Iinas Harus Dihukum

56.2K 3.2K 219
                                    

"Nas, kita pulang dulu ya." pamit Niana. Udah berasa nggak enak lama-lama di sana. Apalagi, keluarga penganten baru ini udah pada dateng. Niana berasa jadi orang asing di sana. Untung ada Rivan.

"Makasih ya Na, Van. Udah mau tolongun gue."

"Iya, santai aja. Kita balik dulu ya. Kerjaan masih numpuk nih. Ntar gue bilang ke boss."

"Terimakasih sudah menolong Iinas." kata Abi.

Mereka berdua mengangguk dan tersenyum ramah, sebelum keluar kamar perawatan Iinas dan menyalami semua orang.

Abi lagi-lagi bersyukur, teman Iinas baik-baik dan care. Mau menolong Iinas dan mengantarkannya samoai rumah sakit. Kalau nggak ada mereka, Abi nggak tau lagi gimana nasib istrinya itu. Pokoknya, habis ini, Iinas nggak boleh kerja lagi.

Abi kembali duduk di samping ranjang istrinya, kedua orang tuanya masih asik mengobrol dengan mertuanya. Sama-sama antusias membicarakan calon cucu pertama mereka.

"Udah baikan?" tanya Abi. Tangannya mengusap pelan wajah Iinas.

"Udah." jawab Iinas tersenyum lebar. Kadang Iinas suka mesem sendiri, membayangkan sebentar lagi dirinya bakalan punya anak.

Tangan Abi turun, mengusap perut Iinas. "Kamu nggak boleh kerja setelah ini." katanya, terus mengusapi perut Iinas dengan pelan. "Nggak boleh ada alasan." tambahnya sebelum Iinas mau ngeyel lagi.

Iinas akhirnya diam. Dia mau nurut aja kali ini. Udah untung Abi nggak marah-marah karena Iinas pingsan. Mungkin amarahnya langsung ketutup sama kabar gembira yang disampaikan dokter Rasyid tadi.

"Setelah ini kalian pindah aja ke rumah Mama." Mamanya Abi, nggak tau sejak kapan udah berdiri aja di samping Iinas. Mungkin juga mendengar obrolan Abi sama Iinas barusan.

"Jadi, nanti kalau Abi kerja kamu ada temennya." katanya lagi. "Lagian, apartemen itu nggak aman Sayang. Kamu pasti capek kalau harus naik turun. Bisa membahayakan calon cucu Mama." lanjutnya.

"Ma, apartemen Abi ada liftnya. Naik turun juga nggak lewat tangga kali Ma." balas Abi jengah. Mamanya ini, ada aja kelakuannya.

"Sama aja Bi. Kamu pikir tubuh istri kamu nggak bakalan terguncang pas di dalam lift?"

Haduh! Terguncang apa lagi sih ini? Kayaknya lebih terguncang lagi kalau diajakin main sama Abi deh.

Ah, nanti Malan Iinas udah bisa di atas belum ya?

"Mama apaan sih. Mama pikir lift aparetemen ada guncangannya kayak lewat jalanan yang bolong-bolong gitu? Apartemen Abi aman kok. Liftnya alus."

"Tetep aman di rumah Mamalah!" balas Mama Abi nggak mau ngalah. Pokoknya, mereka harus pindah ke rumahnya. Seenggaknya sampai calon cucunya itu lahir.

Iinas cuma diam aja dengerin sepasang anak dan ibu itu berdebat. Iinas nggak masalah sih sebenarnya kalaupun harus pindah ke rumah mertua. Mamanya Abi baik banget, supel orangnya. Ya walaupun kadang agak cerewet. Sama aja sih kayak Mamanya.

"Nanti kalau kamu kerja, terus Iinas di apartemen sendirian, butuh apa-apa atau ada apa-apa? Siapa yang nolongin? Kan kalau di rumah, ada Mama. Ada yang lainnya juga Bi. Kalau butuh apa-apa tinggal bilang aja. Nanti Mama bisa carikan asisten buat istri kamu."

Buset dah! Iinas cuma hamil aja mau dicarikan asisten? Hadeh, Iinas langsung ngebayangin, dia cuma butuh ambil air minum di dapur, tapi udah ada asistennya yang tinggal tunjuk dan siap ngambilin air minumnya. Duh.

"Nanti Abi pikir lagi deh, Ma." kata Abi. Mamanya ini, kalau diladeni nggak akan ada habisnya. Ada aja alasannya. Abi juga bingung, kenapa Mamanya ini pinter banget ngomongnya.

Guide to Our MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang