Bab 16

16.4K 1.6K 71
                                    

Suara ketukan di pintu membuat Nafisya menghentikan dzikirnya. Tiba-tiba saja jantungnya berpacu dengan cepat. Pikirannya menerka-nerka akan siapa yang mengetuk pintu kamarnya. Sungguh ia belum siap jika harus berhadapan dengan Adam.

Nafisya mencoba menenangkan dirinya. Perlahan ia berjalan untuk membuka pintu. Dan benar saja Adam berdiri tepat di depannya. Rasanya ingin sekali Nafisya menutup kembali pintu kamarnya. Dia tidak ingin bertemu dengan orang yang sedari tadi dia hindari.

"Assalamu'alaikum."

"Wa.... Wa'alaikumussalam," jawab Nafisya dengan terbata-bata.

"Maaf mengganggu. Ibu meminta saya untuk mengajak kamu makan."

"Fisya tidak lapar," jawab Nafisya dingin.

"Makanlah dulu sedikit. Saya dengar kamu belum makan dari pagi," bujuk Adam. Dia tidak ingin Nafisya jatuh sakit karena belum ada nutrisi yang masuk ke dalam tubuhnya.

Nafisya ingin sekali menolak ajakan Adam. Namun dia yakin jika dia bersikeras tidak makan maka ibunya yang akan turun tangan.

"Baiklah, nanti Fisya ke depan." Setelah menjawab itu Nafisya menutup kembali pintu kamarnya.

Berulang kali Nafisya beristigfar. Apa Allah akan marah atas sikapnya yang kurang baik terhadap Adam. Sungguh bukan hal yang mudah untuk dia menerima kehadiran Adam. Masih ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya.

Setelah mengganti mukena dengan kerudung bergo Nafisya bergegas ke ruang tengah dan mendapati ibunya bersama Adam duduk di atas tikar dengan makanan yang sudah tersaji. Keluarganya memang hidup dengan kesederhanaan begitu pun dengan rumah yang mereka tinggali. Tidak ada meja makan dan tidak ada sofa di ruang tamu. Di saat membuka pintu rumahnya terdapat ruangan yang biasa di gunakan berbagai kegiatan. Tempat menerima tamu, tempat makan, dan tempat menonton televisi dilakukan di ruangan yang sama. Ruangan yang lain di rumahnya hanya dua kamar tidur, dapur dan kamar mandi.

"Sini Sya! kita makan bersama. Ibu tidak sempat masak jadi Adam membelikan makanan dari luar."

Setelah Nafisya duduk di dekatnya, Aminah menyodorkan piring kepada Nafisya.

"Ambilkan nasi untuk Nak Adam dulu!" titah Aminah.

"Tidak usah Bu, biar saya ambil sendiri," tolak Adam

"Tidak apa-apa, biar Nafisya belajar bagaimana menjadi seorang istri berbakti kepada suaminya."

Tanpa mengajukan protes mau tidak mau Nafisya menuruti perkataan ibunya. Dia mengisi piring di tangannya dengan nasi dan lauk pauk yang berada di depannya, lalu menyodorkan piring tersebut kepada Adam.

"Terimakasih, Sya," ucap Adam.

"Harusnya di tanya dulu, Sya. Nak Adam mau makan dengan lauk apa."

Tidak ada jawaban apapun dari Nafisya. Dia hanya terlihat sibuk dengan makanan yang akan dia santap. Meskipun sebenarnya dia tidak berselera untuk makan.

"Besok saya sudah harus masuk kerja. Apa Ibu dan Nafisya mau ikut tinggal bersama saya di Jakarta?" tanya Adam ketika mereka telah menyelesaikan makan siangnya.

Nafisya cukup terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Adam. Dia baru sadar ketika Adam dan dirinya telah menikah pasti dia harus ikut dimana pun Adam tinggal. Tapi sungguh dia tidak ingin pergi kemana pun. Dia hanya ingin tinggal bersama ibunya.

Naungan Taman SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang