1. Hari Naas

93 12 0
                                    

Wanita itu menggedor-gedor daun pintu kamar anaknya. "Zaky! Bangun, Nak!" Dia panik, "Toloong!" Berteriak tak tentu arah, berharap ada yang bangun mendengar lolongannya di pagi yang sepi ketika jam baru menunjuk pukul dua kurang seperempat. Menyesal dia karena harus tinggal di desa terpencil, di rumah yang terpisah dari pemukiman warga ini. Menyesal pula telah menuruti keinginan anaknya, untuk memasang kunci dari dalam kamar bocah yang baru belajar privasi itu.

Yang di dalam kamar menggeliat mendengar sayup teriakan ibunya, terbatuk saat menghirup asap yang seketika membangunkannya dengan paksa. Dia terkejut saat melihat kobaran api di langit-langit kamar melalap dengan rakus plafon tripleks dan mulai menghanguskan tiang-tiang kayu atap rumah. Ekor matanya menangkap kelebatan dua cahaya api yang saling bersisian dari balik jendela kamar, api-api itu terbang cepat menjauh seperti setan melayang-layang di kegelapan.
Belum hilang kagetnya, bergedebuk kayu-kayu yang jatuh akibat digerogoti si jago merah hingga tak kuat lagi menopang berat atap rumah, hampir mengenai ranjang tidurnya.

Cepat-cepat Zaky meraih pintu dan membuka kunci. Belum sempat tangannya menyentuh gagang pintu, sekonyong-konyong pintu terbuka dengan bunyi brak yang keras akibat pukulan dari luar. Daun pintu membentur tangan kiri bocah itu. Sakit luar biasa. Dia mengerang, sepertinya tulang jari-jarinya ada yang remuk. Di depan pintu berdiri ibunya, masih memegang martil besar yang tadi digunakan untuk memukul daun pintu, bergidik melihat sang anak semata wayang hampir menjadi korban keganasan martilnya.

Wanita itu, Nadya, menarik lengan kiri Zaky, lupa kalau lengan itu baru saja terkena pukulan tak langsung dari martilnya. "Lari!" Teriaknya sambil menyeret Zaky keluar dari kamar. Keduanya berlari menuruni tangga kayu rumah tersebut. Keduanya terkejut melihat lantai yang juga terbuat dari kayu telah menjadi lautan api. Sebagian anak tangga bahkan sudah hangus dan takkan mampu menopang pijakan. "Lompat!" teriaknya lagi.

Zaky menggulung celana hingga selutut sebelum kemudian melompati tujuh anak tangga sekaligus dan jatuh di anak tangga terakhir, meremukkan anak tangga yang sudah hangus itu. Telapak kakinya tersengat bara api dari remukan tangga.

"Ibu!" Zaky berteriak cemas, melihat ibunya sedang berusaha menghalau api agar tidak menyentuh kerudung dan rok panjangnya.

"Lari! Tinggalkan Ibu!" Perintah Nadya tegas dan tegar. Dia mengambil ancang-ancang untuk melompat.

Zaky kebingungan, tentu saja dia tak mau meninggalkan ibunya. Sementara itu, sundutan bara dikakinya terasa semakin menyakitkan.

"Lari, Zaky!" Nadya berteriak seraya melompat ke lantai yang nyala apinya paling kecil. Lantai kayu tempat Nadya mendarat patah, membuat kakinya terperosok ke kolong lantai. Sontak kobaran api langsung melahap rok Nadya. Kakinya terjepit di antara lantai kayu yang patah.

Zaky berlari ke arah Nadya, mengabaikan api yang menjilat ganas di lantai. Dia meraih tangan Nadya, memapahnya ke luar rumah.

Ketika kurang beberapa langkah lagi menuju pintu, reflek Nadya mendorong Zaky kuat-kuat hingga terjatuh ke depan dekat pintu rumah, di situ api belum merambah. Nadya baru saja menyelamatkan Zaky dari keruntuhan tiang rumah yang kini rubuh menimpa wanita malang itu, diikuti reruntuhan yang lain. Tiang yang berkobar tepat membentur kepala Nadya, dia terhuyung jatuh, perlahan kehilangan kesadaran. Kedua tangannya masih memegang tiang kayu petaka itu sedang api sudah menjalari sekujur tubuh.
"... Allah," sahut Nadya lembut. Dia sudah pingsan -atau bahkan mungkin sudah meninggal- sementara api melalap tubuhnya, menggemeretakkan puing-puing yang runtuh sehingga menambah besar kobaran, seakan mempercepat lepasnya nyawa dari raga, menghadap ke pangkuan Sang Pemilik Jiwa.

"Tidaaaak!" Zaky panik. Dia berusaha mengais benda-benda di sekitar, mencoba menyingkirkan kayu-kayu dan puing-puing yang bisa dicapai. Api masih berkobaran membakar jasad sang ibu, malah semakin besar. Tidak bisa, jasad Nadya terlampau jauh untuk bisa diraih. Terlalu berat tiang kayu itu bahkan untuk sekedar digeser dari tempat Zaky berdiri. Terlalu besar nyala api untuk bisa diterabas. Pemandangan itu membuat Zaky jeri.

Ia memutar otak, seketika matanya menangkap jajaran gorden menggantung di jendela samping pintu, belum tersentuh api. Ditariknya gorden-gorden itu lalu digulungkan pada kedua tangannya. "Bismillah," dia berucap. Kemudian secepat yang dia bisa, api yang masih menyala garang itu nekat diterobosnya. Dia lalu meraih tiang kayu yang menindih tangan ibunya, disingkirkannya tiang berat itu, kemudian sosok yang sudah tak bernyawa itu diseretnya keluar rumah. Susah payah dia berusaha mematikan api yang menyelimuti jasad sang ibu. Nyawa sudah melayang, namun setidaknya jasadnya masih dapat diselamatkan. Sekedar untuk bisa dikebumikan dengan prosesi yang normal.

Zaky meraung. Betapa dia harus melihat pemandangan mengerikan seperti ini untuk akhir dari anggota keluarga satu-satunya yang dia miliki. Rasanya ingin melompat saja kembali ke dalam nyala api, menyusul sang ibu dan mengakhiri hidup. Untuk apa bertahan hidup kalau sudah begini? Untuk siapa pula? Toh, tidak akan ada yang kehilangan dirinya meskipun dia mati sekarang. Melanjutkan hidup-pun hanya akan berpayah-payahan memulai dari nol tanpa ada apa-apa dan siapa-siapa yang akan membantu.

Berkecamuk berbagai macam pemikiran dalam benak bocah yang umurnya baru menginjak angka 14 itu, sementara api semakin besar membubung tinggi diatas atap rumah, melebar merambah ke halaman, membakar taman bunga kesayangan Ibu. Di tengah kepanikan dan keputus-asaan yang mendera, sebagian akal sehatnya berontak, hati kecilnya menolak dia melakukan tindakan pengecut itu. Yakin bahwa Sang Maha Kuasa sedang menguji kekuatan hatinya saat ini.

Zaky menutupi sosok sang ibu dengan kain gorden yang tadi menggulung di tangan, lalu dengan berat hati dia meninggalkan jenazah itu, berlari terseok-seok ke arah desa sambil berteriak meminta tolong.

Baru beberapa langkah berlari, dia terjatuh. Tak mampu melanjutkan. Luka bakar di telapak kakinya tak mengizinkannya bahkan sekedar untuk berdiri. Sakit bukan main ketika lepuhan yang masih baru itu mulai bereaksi ketika tertusuk-tusuk tajamnya rumput jepang.

"Tolooong ...! Kebakaran ...! Kebakaraaan ...!" Seluruh tenaga yang tersisa dikerahkannya untuk berteriak. Tinggal itu yang mampu dia lakukan.
Orang-orang desa harus diberi tahu. Api bisa segera menjalar ke kebun-kebun sekitar. Kabel-kabel listrik juga berpotensi mengalirkan arus pendek -atau apapun itu. Ayolah! Seseorang, siapapun. Bapak-bapak yang sedang kebagian tugas ronda, atau ibu-ibu yang terbangun karena tangisan bayinya, atau mungkin pencuri yang sedang mengintai rumah targetnya. Siapapun! Lihatlah kemari! Hoy! Ayam-ayam seharusnya berkokok melihat api sebesar ini!

Sayangnya Zaky sudah kehabisan tenaga. Kepalanya rebah pada kedua tangan, lalu sedetik kemudian dunia menjadi gelap.
Di kejauhan, dua garis api yang bersisian terbang semakin jauh hingga tampak sebagai titik putih kecil berkedip-kedip, lalu kemudian menghilang di telan pekat.

Bersambung...

Hallo sobat Wattpad terluvv, menurutmu bagian ini? Ditunggu feedbacknya yaa..

Para Penakluk, Sang PemantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang