3. Gelandangan Dari Jakarta

40 8 0
                                    

Sudah dua jam pria itu duduk di trotoar depan toko buku The Librarinth. Dia bertelanjang kaki, sandal jepit dijadikan alas duduk. Matanya setengah terpejam mencegah silau matahari pukul dua siang yang masih semangat menyengat kota Jogja, atau mungkin menghindari masuknya debu dari jalanan yang padat oleh kendaraan bermotor. Peluh mulai merembes dari kepalanya yang putih oleh uban, menetes perlahan di antara keriput tulang pipi yang menonjol, masuk ke sela-sela janggutnya yang juga putih.

Dia bergeming seakan tidur, tetapi sikap badannya tegap berwibawa. Sama sekali tak menampakkan kesan seorang gelandangan kalau saja bukan karena pakaian yang lusuh, tua seperti pemakainya. Di sisinya teronggok sebatang sapu lidi bergagang bambu warna kuning. Sapu yang selalu dia bawa kemana-mana.

Dia bukanlah pengemis, karenanya tak ada kaleng atau semacamnya di sekitar tempat dia duduk, seperti yang biasa para pengemis lakukan, tetapi setiap hari ada saja yang memberinya bingkisan berupa makanan, terkadang uang. Sebagai ucapan terimakasih karena telah membersihkan lingkungan sekitar. Sudah sebulan sejak pertama kali pria itu mangkal di sini. Setiap pagi sehabis subuh dia akan datang membersihkan daerah itu, setelahnya dia menghilang entah kemana, lalu sesudah waktu dzuhur dia akan kembali untuk duduk diam di depan toko, layaknya patung gupolo di rumah-rumah tradisional Jawa.

Orang-orang memanggilnya Tuan Sapu, menghormati jasanya dalam menjaga kebersihan area sekitar tanpa dibayar. Zaky mengenalnya sebagai Pak Salman, dari Jakarta. Hanya itu yang dia tahu. Seperti halnya dirinya, pria tua itu tidak terlalu banyak bicara.

Pak Salman cukup menarik perhatian Zaky, bahwa di zaman seperti ini ternyata masih ada tunawisma menggelandang di jalanan, sedangkan pemerintah telah menyediakan hunian bagi mereka yang kurang beruntung. Mungkin Pak Salman terkendala masalah identitas, seperti yang sering terjadi pada tunawisma yang belum mendapat tempat tinggal. Biasanya mereka harus menunggu beberapa minggu untuk validasi identitas, pembuatan kartu, serta segala macam tetek-bengek administrasi yang berbelit-belit.

Adzan Ashar berkumandang, Pak Salman beranjak dari tempat duduk, bergegas ke masjid terdekat. Zaky menyusul.

***

Keluar dari halaman masjid, Zaky mengejar lalu berusaha menjejeri langkah Pak Salman. Banyak sekali yang ingin dia tanyakan kepada beliau-terutama mengenai kota Jakarta-tetapi demi alasan kesopanan, dia mencoba menahan diri. Sekarang dirasa tidak apa-apa bertanya beberapa hal mengingat sudah cukup lama mereka saling mengenal, justru aneh jika tidak terjadi percakapan di antara keduanya.

“Bagaimana gudegnya tadi, Pak?” Zaky mencoba berbasa-basi. Siang tadi dia memberi sebungkus nasi gudeg buatan Mbah Wini, tetangga samping rumah. Makanan yang dulu menurutnya aneh saat pertama kali dia cicipi, namun sekarang dia menyukainya setelah terbiasa. Dia memancing Pak Salman agar memberi komentar tentang makanan unik berbahan dasar buah nangka itu.

“Enak sekali, Nak Zaky. Terimakasih.”

“Oh, ya, sama-sama, Pak,” Zaky senang, Masakan Mbah Wini memang lezat. Zaky heran kenapa Mbah Wini tidak buka restoran dengan kehebatan memasaknya itu.

“Bapak di Jogja tinggal di mana?” Salah. Pertanyaannya salah sama sekali. Zaky memaki diri dalam hati. “Err ... maksud saya ... di ... daerah mana biasanya ... begitu ..., pak,” gelagapan dia mencoba meluruskan kalimatnya, takut menyinggung perasaan tunawisma tua di sampingnya.

Zaky memang introvert, kurang pandai dia dalam bersosial. Dia pun baru mulai membuka diri dengan orang-orang sekitar semenjak pertemuannya dengan Ilman sekitar tiga bulan yang lalu. Anak itu berhasil membuatnya lebih baik.

Pak Salman tersenyum. “Paling sering ya disini, soalnya masjid sini mau nerima saya jadi tukang bersih-bersih.”

“Pantas saja, Pak Salman memang rajin bersih-bersih, sih.”

Para Penakluk, Sang PemantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang