Jogja (Prolog)

148 22 4
                                    

Mendung tidak menyurutkan semangat penduduk kota untuk memulai aktivitas. Senin. Hari tersibuk sepanjang minggu bagi kebanyakan orang. Hari pertama untuk kembali pada rutinitas setelah bersenang-senang di akhir pekan. Bersahabat lagi dengan tanggungan proyek-proyek yang tertunda, tugas-tugas yang menumpuk, guru-guru yang killer, atau masalah-masalah wajar lainnya yang dituntut oleh sistem dunia.

Bermacam kendaraan mulai tumpah ruah memenuhi jalan. Mengantar manusia-manusia ekonomi itu ke tujuannya: kantor, pasar, sekolah atau apapun. Semuanya tergesa-gesa. Pejalan kaki di kanan-kiri jalan seperti robot yang disetting untuk segera sampai pada tujuannya masing-masing, tergesa-gesa. Tapi mereka bukan robot, sesekali masih saling melempar senyum kepada orang di sekitar, basa-basi dari-mana-mau-ke-mana khasnya orang Indonesia, sambil tergesa-gesa. Anak-anak sekolah berjalan bersisian, kadang cekikikan menanggapi celetuk teman bicaranya. Pengamen bersuara merdu sedang menyanyikan lagu-lagu beat yang rancak penuh semangat, seolah merayu mendung agar berubah menjadi cerah.

Di dalam salah satu mobil yang berlalu-lalang, anak itu tertidur. Kelelahan setelah kemarin melewati perjalanan darat dari desa ke Kota Palu, lalu dari Palu ke Jogja dengan pesawat terbang tadi malam. Tidur beberapa jam tidak menghilangkan rasa lelahnya. Nyatanya daripada lelah fisik, dia lebih kepada lelah mental. Tangan kiri dan kedua kakinya dibalut perban, di letakkan di atas bantal yang lembut.

Anak itu bernama Zaky. Tiga hari yang lalu rumahnya terbakar. Dia berhasil selamat, dengan luka bakar di kedua kaki. Ibunya, satu-satunya anggota keluarga yang dia miliki setelah ayahnya dikatakan meninggal dalam pelayaran belasan tahun silam, tidak berhasil selamat dari kebakaran itu. Beruntung kepala desa tempat tinggal Zaky mengenal keluarganya, lalu berusaha menghubungi sanak kerabat yang sekiranya dapat membantu. Anak itu masih sangat tertekan.

Pria yang mengemudi adalah pamannya, atau kalau menurut panggilan orang Jawa, paklik. Namanya Arthur, suami dari sepupu ayah Zaky. Sudah dua hari Arthur belum sempat tidur dengan nyenyak. Dia sibuk pergi-pulang Jogja-Palu untuk menjemput keponakan jauhnya itu, juga mengurusi pemakaman ibu Zaky. Semalam Arthur hanya sempat tidur dua jam setelah memastikan Zaky tertidur dengan nyaman.

Sekarang dia harus mengantarkan anak malang itu ke dokter ahli untuk mengobati luka-lukanya.

Seorang wanita duduk di samping Arthur, Istrinya, sedang mengandung anak mereka yang pertama. Sekarang kandungannya sudah memasuki bulan ke tujuh. Rupanya dia berinisiatif memeriksakan kandungan sekaligus mengantar keponakannya itu.

"Ora sah kesusu, Yang."* Amelia, wanita yang sedang hamil itu mengingatkan.

Arthur berdehem. "Oke." Suaranya dibuat sejernih mungkin, jangan sampai terdengar parau sebab lelah yang mendera.

Mobil berhenti di ruang parkir sebuah rumah sakit. Amelia keluar dari mobil. Sedetik kemudian seorang petugas rumah sakit menghampirinya, menawarkan bantuan kursi roda. Amelia duduk dengan sukacita. Arthur mengeluarkan kursi roda lain dari bagasi untuk dipakai Zaky. Mereka lalu masuk ke dalam gedung, menjalani langkah demi langkah prosedur yang menjadi bagian dari sistem rumah sakit.

***

Zaky menatap nanar kenampakan kota Jogja dari jendela kamar di lantai delapan rumah sakit. Sudah masuk hari ke tiga dia dirawat. Dokter harus memastikan lukanya sembuh dengan baik-meskipun kemungkinan besar akan berbekas. Ini pertama kalinya Zaky berada di kota di luar pulau Sulawesi. Sayangnya dia harus menikmati pemandangan ini saat sudah berstatus yatim-piatu. Hal yang membuat pandangannya yang seharusnya penuh kekaguman, justru tampak berkabut sendu.

Kota Jogja memang benar-benar menawan. Seperti halnya kota-kota besar lainnya di Indonesia, kota ini mendapat kucuran dana berlimpah sejak ditemukannya tambang bijih emas di Papua puluhan tahun silam. Pemerintah yang sigap dengan serta merta mengerahkan seluruh sumber daya untuk mengelola tambang tersebut. Bersamaan dengan itu, meningkat pula pengelolaan tambang-tambang lain seperti minyak bumi, gas bumi, batu bara, hingga permata di perut bumi dan gunung-gunung berapi yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.

Temuan tambang sangat berpengaruh pada peningkatan infrastruktur di hampir seluruh wilayah Nusantara. Kecuali daerah-daerah paru-paru bumi serta desa-desa yang memang dijaga kealamiannya, wilayah-wilayah di Indonesia berlomba-lomba merapikan tata sarana kotanya.

Jogja menjadi salah satu yang sangat berhasil memanfaatkan pasokan dana pemerintah. Dapat dilihat di sana-sini gedung-gedung besar dibangun menggunakan perancangan mantap dengan aksen arsitektur jawa yang kental. Jalan-jalan disusun bertingkat-tingkat hasil perhitungan super-matang dari arsitek besar tanah air. Area Tugu Jogja yang menjadi landmark kota diperluas sekitar lima ratus meter di sekeliling untuk dijadikan taman kota, sehingga meskipun tugu itu tampak cebol di antara gedung-gedung tinggi yang mengelilingi, tetap saja menjadi primadona dari sekian banyak bangunan yang berdiri. Suasana kota pun tetap asri dengan banyaknya pohon-pohon di setiap sudutnya, menjadi sumber kesegaran bagi warga kota.

Tidak sebatas dari pertambangan, sumber devisa negeri ini juga meningkat sebab pemanfaatan wilayah pariwisatanya yang mengundang banyak pelancong dari berbagai negara. Ikan-ikan menari bebas di antara karang-karang laut yang cantik terjaga. Buah-buahan tropis memenuhi hutan-hutan lebat. Hewan-hewan hidup nyaman di alam liar, dilindungi oleh hukum negara yang sangat ketat. Kota yang tetap segar penuh dengan pohon-pohon rindang karena mengedepankan keramahan lingkungan. Kota-kota yang nyaman, fasilitas yang wah, budaya yang kaya, serta sumber daya alam yang senantiasa terjaga kualitasnya menjadikan Indonesia seakan sepotong surga yang disematkan di salah satu sudut bumi.

Namun dari segala keindahan itu, kenyataanya di dunia ini memang tidak ada kesejahteraan yang mutlak. Seakan setiap ada kebahagiaan, pasti akan selalu hadir tangan-tangan pengganggu yang ingin merusak tatanan kehidupan yang sudah sedemikian rupa disusun manusia. Begitulah yang sedang melanda negeri indah ini. Setelah kesejahteraan materi dapat diraih, muncul ancaman-ancaman lain yang berusaha merampas kekayaan itu untuk dimonopoli sendiri. Korupsi mulai marak, kejahatan-kejahatan dan ketidak-adilan terjadi di banyak tempat, seringkali dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kuasa. Homo Homini Lupus, manusia adalah serigala bagi manusia lain, begitulah istilahnya. Kota Jogja, bagaimanapun menariknya, juga tidak lepas dari ancaman tersebut. Kasus-kasus kejahatan tetap saja terjadi walau kesejahteraan hidup telah dicapai oleh sebagian besar penduduk.

Untuk mengatasi segala tindak-tanduk kejahatan itu, pemerintah membentuk sebuah departemen khusus yang melakukan pekerjaannya tanpa sepengetahuan publik, tak pernah sedikitpun kasusnya tercium oleh media. Hal ini dilakukan untuk menghindari reaksi dari orang tertentu yang dapat menggagalkan aksi tersebut, juga demi menjaga kenyamanan penduduk. Bahkan keberadaan pahlawan-pahlawan departemen khusus ini tidak diketahui oleh masyarakat.

Kedatangan Zaky di Jogja akan membawanya dalam dunia kehidupan para pahlawan tak kasat mata itu. Juga misinya untuk menyingkap misteri mengenai ayah kandungnya, Zain Arluna.

Bersambung...

* "Tidak usah buru-buru, Yang".


Halloo penghuni Wattpad, kasih vommentnya ya, buat perkembangan novel ini 😊😊

Para Penakluk, Sang PemantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang