Cerpen : tugas uprak

2.3K 131 7
                                    

        

     Ini adalah tugas praktek akhir kelas 12,kepada teman teman yang sudah membaca saya ucapkan terima kasih,untuk saran dan pertanyaan boleh komentar. Terima kasih :)     




.
.
.
.

          



                               Self Injuring



     Kenangan manis seperti pergi ke taman bermain bersama keluarga, menikmati semua wahana yang ada sambil menikmati permen kapas dan es krim, pasti akan selalu terkenang sampai kapanpun, dan membuat kita selalu tersenyum jika mengingatnya. Begitupula masa remaja yang seharusnya aku dapatkan, manis, penuh senyuman, canda, tawa, bersama orang terdekat banyak hal menyenangkan yang aku lakukan. Akan indah jika ketika dewasa aku mengingatnya sambil tersenyum sambil menatap langit dan berharap waktu akan di putar kembali.

      Tetapi, sepertinya kisah remajaku berbeda dengan remaja lainnya, saat mereka memiliki kenangan manis, justru yang aku miliki hanya kenangan pahit dan menyakitkan. Apakah itu pantas aku kenang? Sepertinya tidak, karena bukannya senyuman yang terbentuk, tapi hanya akan ada wajah suram dengan tatapan kosong yang tercipta, tak layak di kenang memang masa remajaku ini. Di saat remaja lain menikmati masa remaja nya sesuai keinginannya dan ingin ada dalam waktu yang lama dalam masa itu aku justru sebaliknya, aku ingin cepat melaluinya, dan jika bisa aku ingin pergi dengan mesin waktu agar melewati masa pahit dan menyakitkan seperti ini.

     Bagai kertas yang di bakar dan abu nya tertiup angin, seperti itulah aku. Kelam, rapuh, dan tak berarti. Seakan sia sia aku hadir di dunia, aku tak punya bahu untuk bersandar menumpukan sejenak bebanku, sakitku, dan perihku. Sosok figur yang seharusnya selalu ada di setiap langkahku, saja terkesan tak perduli dengan apa yang aku lakukan. Mereka hanya memenuhi kebutuhan dan mengurusku saja, apakah itu sikap yang sudah sepatutnya orang tua berikan pada anaknya? Kadang aku berfikir apa aku ini anak kandung mereka apa bukan?

    Suasana pagi hari yang sejuk dan menenangkan yang seharusnya aku dapatkan entah hilang kemana, seolah lenyap ikut hilang bersama bulan dan bintang.

“Arin! Kamu ini gimana sih! Udah gede tapi ga bisa apa apa. Masa nyertika baju masih aja kusut, ga kepake banget kamu ngerjain ginian doang. Gak becus!” ucap seorang wanita berusia 35 tahun yang seharusnya ku anggap malaikat tapi terkadang aku menganggapnya sosok nenek sihir.

“Ya, kan mamah bilang belajar. Namanya juga belajar ga langsung mulus dong hasilnya,” jawabku sambil mengikat talu sepatu.

“Kamu ya, kalo di bilangin sama orangtua suka ngeyel! Mau jadi apa kamu? Inget ya, kamu tuh masih serba minta sama orang tua! Gak usah banyak tingkah!”  lanjut ayah yang aku respon dengan tatapan datar.

“udah ya yah, mah, Airin berangkat dulu assalamualaikum," lanjutku cepat sambil keluar rumah.

     Begitulah keadaan rumahku setiap harinya, penuh kebisingan dari pagi sampai malam tiba. Membuat telingaku panas dan memerah, apakah mereka tak malu dengan tetangga? Dan lagipula, apa yang aku lakukan aku rasa sudah benar dan sudah sepatutnya memang begitu. Dan 1 hal yang aku tak suka dari mereka, entah mengapa mereka selalu mengungkit kalau aku ini masih bergantung pada mereka dalam segala hal, aku tau itu dan tak bisa di pungkiri. Tetapi apakah harus selalu mereka ingatkan? Dan satu tempat yang lumayan bisa membuatku sedikit bahagia di banding di rumah, yaitu sekolah. Setidaknya di sana ada sahabat sahabatku yang mampu membuat senyum di wajahku kembali terukir.

    Entah mengapa saat kita melalukan hal yang menyenangkan waktu terasa 2 kali lebih cepat berlalu, seperti saat ini bel pulang sekolah sudah berbunyi, yang artinya aku harus pulang kembali ke suasana kelam, menyebalkan!

Baru saja aku melepaskat ikatan sepatu aku sudah di sambut dengan pertanyaan sarkas yang memang setiap hari selalu muncul.

”Tumben jam segini udah pulang? Biasanya ngelayab dulu kan habisin duit orang tua?” kata mamah sambil melirik ku dengan sinis.

”Aku baru dateng mah cape, jangan nanya aneh aneh sama anak sendiri, anak itu cerminan orang tua,” kataku sambil pergi ke kamarku. Perkataanya selanjutnya sudah aku tak pedulikan lagi, karena jika aku menjawabnya, urusan nya akan semakin panjang dan membuat telingaku semakin panas dan memerah saja. Menjelang malam suasana semakin kelam seperti langit malam, hanya saja suasana nya yang panas,  penuh teriakan dan cacian. Konsentrasi belajarku terganggu dengan suara bising dan suasana pertengkarang yang tak seharusnya aku dengar.

“Kamu tuh ga bener jadi suami! selama ini apa yang bisa kamu kasih? Apa, hah? jawab!”  PRANGG!!

“Kamu tuh yang kurang ajar jadi istri! Bisa nya nuntut terus ga bisa ngertiin keadaan! Sekali kali kamu tuh mikir! Aku cape tau ga?!” BLAAMM!!

Entah apa yang terjadi selanjutnya, aku tak kuat mendengarnya, aku langsung menutup telingaku dengan bantal. Suara pecahan dan pintu yang di banting memang tak terlalu terdengar tapi hatiku terasa sakit, perlahan tapi pasti dan tanpa ijin, air mata mulai mengalir. Rasa sesak sesak kini mendera dada ku, tatkala aku menahan isak tangis yang hendak keluar. Aku tak kuat menghadapi semua ini, tak ada seseorang yang menjadi tumpuan hidupku untuk berbagi keluh kesah, tak ada yang mengerti diriku. Kemudian aku kembali duduk dan menatap ke sekelilingku sampai kemudian melihat sebuah cutter, yang biasa aku gunakan untuk memotong kertas. Aku mengambilnya dan membuka penutupnya, sepertinya dengan ini semua bebam akan berkurang fikirku dalam hati.

    Aku mulai mendekatkan ujung benda tajam tersebut pada pergelangan tanganku, sedikit menekan dan menyayatnya vertikal, pada sayatan pertama memang terasa perih, membuatku sedikit meringis dan menggigit bibirku sendiri, tatkala ujung tajam tersebut berhasil meninggalkan luka. Sayatan kedua masih sedikit sakit dan cairan merah kental berbau amis mulai mengalir sedikit demi sedikit, aku membiarkannya menetes jatuh. Bagaikan beban yang sedikit demi sedikit terbuang dan akan hilang. Sayatan demi sayatan terus aku buat dan tanpa sadar aku tersenyum apalagi saat melihat darah, rasanya memuaskan meskipun sedikit sakit tapi lumayan menenangkan. Aku tak menekan benda tajam tersebut, aku masih ingin mengetahui rencana Tuhan apa lagi yang akan aku alami selanjutnya. Melukai pergelangan tangan sudah menjadi kebiasaan ku saat ini, jika lukanya kering akan aku buat luka yang baru. Dan aku selalu berhasi menyembunyikan luka ini dari teman dan orangtuaku sendiri.

     Meskipun temanku memiliki kisah yang hampir sama denganku yaitu broken home, tetapi mereka tak pernah melukai diri sepertiku, jadi aku bersikap seolah tak punya masalah dan selalu mendengarkan masalah mereka. Entah kenapa aku nyaman bersama mereka, mungkin karena memiliki masalah yang sedikit mirip? Dan, entah kenapa orang tuaku tak pernah setuju aku bermain bersama mereka, padahal setahuku, ku dengan mereka tak pernah melakukan hal aneh aneh saat bermain.

“Ayah kan udah bilang, ayah gak suka kalo kamu maen sama mereka! Kamu denger ga sih?! kalo orang tua lagi ngomong?!”

"Yah! Tapi aku maen juga masih aman aman aja. Gak ngelakuin hal hal aneh, jadi apa salahnya aku maen sama mereka?”

“Kamu itu dengerin kalo ayah kamu ngomong ga usah ngebantah! Kalo ga boleh ya ga boleh! Nurut dikit sama orang tua bisa ga sih?!”

“Yah! Mah! Aku cuman ada mereka, saat kalian ga ngasih perhatian dan ga pernah nganggep aku ada, mereka yang selalu ada buat aku. Kita ga pernah ngelakuin hal di luar batas. Seharusnya ayah sama mamah sadar, aku tuh butuh kalian sebagai tempat cerita ,aku tuh cape denger kalian berantem tanpa penyelesaian. Aku capek!” jawabku sambil terisak.

Namun yang ku dapat bukan sebuah pengertian tapi, ...

PLAKKK!

... sebuah tamparan seorang ayah terhadap putrinya yang rapuh ini. Aku hanya diam tak berkutik dan tak mengeluarkan sepatah kata pun, ku langsung pergi ke kamar mengemasi barang yang bisa aku bawa dengan tas ransel ku,tujuanku hanya satu. Rumah salah satu saudaraku. Seminggu aku menenangkan diri di sana dan kemudian orangtuaku menjemputku, dan meminta maaf. Sejenak aku merasa sangat berharga, merasa bahwa memang kedua orang tuaku sangat mencemaskan keadaanku. Tetapi, hanya hari ini saja. Entah besok ataupun lusa.

    Semuanya hanya terjadi dalam beberapa waktu dan semuanya akan kembali seperti semula, pertengkaran dan perdebatan selalu terjadi. Dan aku melampiaskannya dengan sayatan yang di iringi isak tangis yang tak tertahan. Hingga pada saatnya aku merasa ada pada titik terendah dan merasa berada di dalam jurang yang paling dalam, aku berfikir untuk mengakhiri semuanya dengan menyayat lebih dalam pergelangan tanganku, dengan harapan urat Nadi ku cepat putus hinga semua rasa sakit ini juga ikut putus dan hilang. Namun belum sempat urat Nadi ku terputus mamah melihat apa yang hendak aku lakukan dan menamparku lalu penyelesaiannya adalah menganggapku gila.

Menyewa seorang psikolog yang merawatku selama sebulan. Menyenangkan memang bisa sedikit berbagi cerita, namun ingat hanya “Sedikit” karena dia terlalu sok akrab dan banyak bertanya membuatku tak nyaman. Dan aku berfikir untuk berpura pura sembuh agar perawat yang menyebalkan itu cepat pergi. setelah perawatan dan drama kesembuhan yang aku jalani selesai, sifat orangtuaku tak berubah mereka hanya memberi pengobatan tanpa mencegah penyakit yang sama timbul kembali. Percuma!

Pertengkaran yang membuatku sesak terus berlangsung hingga membuatku ingin mengakhiri hidup tanpa harus bersusah payah dengan menyayat tanganku sendiri.

Aku berjalan diatas terik matahari, melangkahkan kaki tanpa alas diatas lempengan baja rel kereta api. Pikiranku kosong, dengan langkah gontai aku terus melangkah, entah apa jadinya jika sebuah kereta api datang dan melindasku. Mungkin aku akan mati seketika, dan! Memang itulah yang sedang Aku lakukan. keringat menetes akan rasa haus kebahagiaan.  Di kerongkongan ini sudah tak terbantah merasakan haus yang mendahaga. Ingin aku menunggu lebih lama tapi tak mampu. Sepertinya perjalanan hidupku sampai di sini saja. Teriakan orang di sekitarku sudah mulai tersamarkan dengan suara kuda besi yang siap mengantarku pada tempat istirahat yang abadi,  hingga kemudian tubuhku tersentak ke samping kanan, dan rasa sakit merambat dari tangan sampai keseluruh tubuh. Tetapi mengapa aku tak melihat lorong serba putih? Aku justru merasa pipiku di pukul perlahan dan namaku di panggil.

“Airin! Airin! Airin bangu! Kamu gila ya, mau bunuh diri di rel kereta?”

Mataku sedikit terbuka dan yang pertama ku lihat adalah sosok laki laki seusiaku yang menatapku dengan mata penuh amarah, belum aku menjawab suara sosok perempuan membuatku melihat ke samping

“Rendi cepet bawa temen kamu ke sini! Jangan di ajak ngomong di sana dong! Kamu juga mau mati hah?” teriaknya orang tersebut, yang berjarak beberapa meter dari arahku, kemudian Rendi membantuku bangun dan pergi dari tempat yang seharusnya menjadi saksi kepergianku.

Aku di bawa pergi entah kemana, sepertinya ke rumah Rendi dan aku masih penasran dengan sosok wanita di sampingku ini, pacar rendi atau temannya? Kenapa begitu akrab? Ngomong ngomong Rendi adalah teman sekelasku, tapi kami tidak dekat sama sekali, kami hanya saling kenal sebagai teman satu kelas. Tak lama kemudian kami turun dari mobil dan masuk ke sebuah rumah minimalis yang aku akui desainnya sangat artistik. Aku duduk dan di suruh minum segelas air lalu dia memintaku berganti pakaian dan beristirahat, dan entah kenapa aku hanya menurut seperti terhipnotis?

“Kenalin aku Aqila kakaknya Rendi, kamu terlalu egois menyimpan semua masalah sendiri tanpa mau berbagi, aku tau kamu banyak masalah keluarga, tapi bunuh diri bukan sebuah penyelesaian, apa yang kamu fikirkan sampe mau bunuh diri gitu?” tanya nya dengan tenang.

“Sepertinya lebih baik mengakhiri hidup daripaa hidup terus seperti ini” jawabku seadanya.
“Apakah kamu bisa menjamin kalau kamu mati kamu akan masuk Surga? Bagaimana jika Neraka yang kamu dapat? Terkurung dalam penyiksaan yang lebih perih dari yang kamu alami saat ini, apa kamu sanggup?” balasnya sambil menapku datar dan membuatku tersadar semua yang dia katakan itu benar, tapi bagaimana dia tau? Apakah dia juga seorang psikolog? Tetapi ternyata dugaanku salah dia sama sepertiku, hanya seorang pelajar, dan dia adalah kaka kelasku tapi kami berbeda sekolah. Semenjak kejadian itu aku semakin dekat dengannya begitupun adiknya, Rendi, aku jadi memiliki temen berbagi cerita, dan satu kalimat yang selalu aku ingat dari ucapannya, kalimat yang menyadarkanku akan arti kehiduoan yang sebenarnya. Dan kakimat itu, selalu melekat dalam ingatannku.





“Jalani hidup ini dengan ikhlas, meskipun itu pahit. Terus berikhtiar dan berdoa, yakinlah bahwa rencana Tuhan itu manis, harus mengawalinya dengan kepahitan. Jangan lupa ‘Amor pati,Love Your Self & Love My Self’.


~ooOoo~



Voment ya teman teman😊😊

The New Muslim Manager || BTSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang