Sepuluh: Penangkapan

6 2 18
                                    

Ibraham. Bandung, 9 Juni 2048.

Dengung serangga penanda musim panas membangunkan tidurku. Dengan mata lengket, kubuka mataku, dan mengerjap melihat jam digital di meja: jam 6 pagi. Matahari sudah setinggi ini. Kuangkat lengan ku berniat mengucek mataku, tetapi gerakan itu tertahan karena aku melihat jemari tangan wanita meraba lemah kulit di dadaku.

Oh iya, aku tidak lagi tidur sendiri.

Tadi malam adalah malam keempatku tidur bersama istriku, Sandara Sanbatulactume Sanguinet. Aku telah memimpikan kesempurnaan ini selama belasan tahun. Kini, mimpi itu menjadi nyata. Wanita air telah menjadi bagian diriku dan berhasil melepas dahagaku selama ini. Betapa baiknya takdir, Tuhan dan semesta padaku.

Aku membalikkan posisi tidurku menjadi menghadap Dara. Menggenggam jemarinya dengan lembut. Tangannya bukanlah tangan mungil, lembut, ringkih seperti kebanyakan wanita. Tangannya memiliki jemari panjang, lentik, dan kuat. Ada sedikit gumpalan kulit kapalan di tiap buku jarinya, meskipun begitu jemarinya begitu pas dan masih terkesan mungil dalam genggamanku. Aku memandangi wajahnya. Kelopak matanya berkedut, dia pasti sudah terbangun. Dia tidak pernah tertidur lelap setelah fajar, aku mengetahuinya semenjak berbagi kasur dengannya.

"Aku nyoba ngebuat kopi lagi" bisiknya, suaranya bahkan selalu berhasil menggelitik saraf bahagiaku.

"Hm, lalu?" jawabku.

"Kayaknya, aromanya ga cukup kuat ngebangunin kamu" jawabnya dengan nada slebornya. Yap, sisi muda yang kami kenal tidak menguap hilang begitu saja, hanya tertimbun dan kini kembali muncul "keliatannya sih hasilnya sama kayak sebelumnya" mata kancil Sandara mulai terbuka, disusul bibirnya yang cemberut "mirip air kobokan".

Aku menyibak rambut ombre merahnya yang kubenci dan ingin sekali kugunting jika ada kesempatan. Tanpa ragu dan secara perlahan, aku mengecup pelipis Sandara. Sekilas aku melihat senyuman menggulum di bibirnya, sesaat aku bangkit dan mencari gelas kopi buatan Sandara. Gelas kopi itu ada di samping jam digital. Untung saja aku tidak salah bergerak saat mengecek waktu.

Seperti kebiasaanku dalam meminum kopi, aku menghirup aroma gelas kopi terlebih dahulu. Memang aromanya tidak begitu kuat, tetapi dari aromanya, aku rasa gelas kali ini lebih baik dari gelas sebelumnya. Benar saja, saat kucicipi memang rasanya paling baik dibandingkan yang sudah-sudah. Masih terasa seperti air rendaman, tetapi cukup punya body.

Aku merasakan ada pergerakan dari Sandara. Mungkin ia berbalik karena ingin melanjutkan tidurnya. Mataku menemukan sepiring sarapan sederhana di meja dekat beranda. Satu lagi fakta yang baru kutemui tentang Sandara: dia penggila kerapihan dan menolak ada makanan di atas kasur. Tentang kerapihannya, aku rasa dia hampir mendekati sindrom OCD atau Obsessive-Compulsive Disorder. Sandara tentu saja menolak dituduh seperti itu, menurutnya matanya terasa nyaman jika semua berada dalam posisi yang pas.

Dengan santai, aku melangkah mengambil piring berisi omelet, dan singkong rebus. Sejenak kuintip jendela beranda karena mendengar suara tawa Junior dan Asa. Kedua keponakanku yang lucu itu sedang asyik bermain bersama Brian.

Kebahagiaan anak kecil selalu menular, pikirku sambil mengecek gawaiku dan memulai urusan manajemen dengan membuka pesan.

"Makanannya ga usah dibawa jugalah, sayang" teguran kecil dengan nada lembut tersebut membuatku terdiam.

Tanganku memang membawa piring sarapan dan gawai menuju kasur. Aku memang berniat menghabiskannya bersama Sandara di atas kasur. Ternyata benar, istri itu punya mata di belakang, samping kanan-kiri kepalanya.

Dengan cibiran kecil, aku menaruh kembali piring di atas meja. Tanganku mulai mencomot bagian kecil dari omellet. Sandara memang tidak jago meracik kopi, tetapi tangannya dalam hal memasak ternyata cukup ahli. Semua sarapan yang ia buatkan selalu nikmat.

#2 Mukjizat Waktu: Absolute (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang