Hari ini Naima mengajak Rangga berkunjung ke sebuah perpustakaan besar milik pemerintah daerah, tempat itu adalah tempat favorit Naima, dia akan lupa waktu jika sudah menjejakkan kakinya di sana.
Rangga tidak begitu tertarik, tapi demi proposal yang tak berkesudahan, apapun yang di perintahkan Naima, harus di lakukannya. Naima tipe yang tidak bisa dibantah, dia keras, disiplin dan sedikit kaku.
Pagi pertama menjadi suami istri tak ada kesan sama sekali, mereka bersikap layaknya dosen dan mahasiswa, obrolan pun tak jauh- jauh dari urusan akademik.
Rangga memilih duduk di pojok, ia membuka laptopnya sambil menarik nafas optimis. Semua demi Bapak, selama ini Bapak tidak pernah meminta apa-apa padanya, Bapak begitu gigih menyekolahkan Rangga sampai sarjana.
"Nih! semua bahan yang kau batuhkan ada di sini." Naima meletakkan setumpuk buku di depan Rangga.
"Sebanyak ini? Oh, tidak." Rangga langsung merebahkan kepalanya diatas meja. Naima memutar matanya.
"Sini aku bantu."
Naima meraih laptop Rangga, dia membuka buku satu persatu, begitu tenang dan begitu sabar, tak ada kesan terpaksa di wajahnya, dengan lincah jari halus lentiknya menari di atas keyboard laptop, sesekali dia menerangkan apa yang sedang ditulisnya di sana.
Rangga lebih tertarik mengamati mulut kecil itu berbicara dari pada melihat apa yang sedang tertulis. Kalau dilihat lebih dekat, Naima cukup cantik, terlihat lebih muda dari usianya, tinggi badannya hanya berkisar seratus enam puluh, tidak begitu tinggi, tubuhnya cendrung langsing dan mungil.
Rangga sebagai ahli penilai penampilan, merasa bahwa kacamata minus Naima sangat mengganggu untuk kecantikannya. Mata Naima bulat dengan bola mata bewarna coklat, pandangannya tegas dan memandang lawan bicara tepat dimata mereka.
Pandangan tegas itu yang membuat Rangga serasa seperti kerbau yang di cucuk hidungnya, menurut tanpa bisa membantah.
"Apa kau menyimak apa yang aku terangkan?" Naima merasa terganggu dengan pandangan menilai Rangga.
Rangga menggaruk kepalanya, dia malu tertangkap basah memperhatikan wanita itu.
"Oh? tentu saja."
"Sekarang bab satu tinggal print out, aku mau besok sudah di tangan pembimbing duamu."
"Siap, Bos," jawab Rangga takjub, bahkan Naima menyelesaikannya hanya dalam waktu lima belas menit, apakah komponen otak Naima berbeda dengan otaknya? itu tak penting lagi, yang jelas Rangga sangat senang.
"Jabis ini kita, pulang, kan?"
Naima melihat tajam.
"Tidak, ayo kita urus nilaimu yang banyak perbaikan, ada semester pendek tahun ini, ini kesempatan untuk memperbaiki nilaimu, aku heran, kenapa nilai bisa serendah itu."
Naima beranjak, meletakkan kembali buku referensi pada tempat semula.
"Gagal sudah niat bertemu pacar," ucap Rangga putus asa.
"Lupakan dulu pacarmu itu, ingat nyawamu... Ingat Bapak!" Naima kesal, laki-laki itu sangat pemalas.
"Iya, Bu." Rangga akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
"Bu, kita makan dulu, saya tadi belum sarapan."
"Salahmu, sarapan sudah tersedia, tapi kau memilih sarapan dengan melihat Hp-mu, tampaknya pola hidupmu pun harus diubah."
"Ibu jangan marah, Bu" Rangga mengusap lengan Naima, berniat membujuk. Dari tadi wajah itu kesal terus.
"Kau itu harus dikerasi supaya bisa disiplin."
Naima membuka kunci mobilnya dan diikuti Rangga dari belakang.
Mobil melaju mulus. Rangga memberi semangat pada dirinya di dalam hati
"Bertahanlah, Rangga! cuma enam bulan, setelah itu kau bisa bebas dari istri galakmu."
Naima melirik ekspresi Rangga.
"Kau sedang mengumpatku?"
Rangga kelabakan, apa Naima punya indra ke-enam?
"Ti... tidak, Bu. Ya ampun." Rangga meraba dadanya sendiri karena syok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjerat Cinta Mahasiswa Abadi
HumorNaima, 30 tahun, seorang dosen yang cerdas didesak untuk menikah oleh kedua orang tuanya. Rangga, Mahasiswa Abadi terancam DO dari kampus karena tidak lulus-lulus. Bagaimana jika keduanya menikah? Naima membantu Rangga untuk menyelesaikan kuliahnya...