Naima mengakui, Rangga berlebih dari sisi bacaan Al-Qur'annya, bacaannya bagus sebagus suaranya. Naima sempat larut dengan untaian ayat-ayat yang dibacakan dengan khusuk. Hatinya bergetar.
Sholat mhagrib ditutup dengan doa yang dipimpin oleh Rangga, Naima tidak sepenuhnya mengerti dengan isi doa yang dilantunkan dengan Bahasa Arab, tapi dia mengamini dengan sepenuh hati.
Pada dasarnya Rangga adalah laki-laki yang baik, dia sangat santun, menjaga sikapnya kepada siapa pun , walaupun status mereka sudah suami istri, tak sedikit pun Rangga berbuat tak senonoh padanya. Rangga memperlakukannya layaknya dosen yang sangat dihormatinya. Padahal bisa saja dia mengambil kesempatan dengan label sah yang sudah melekat di antara mereka.
Rangga bangkit menunaikan sunah ba'diyah Mhagrib, Naima juga melaksanakannya, Naima mengambil jarak agak jauh dari Rangga.
Hujan masih turun, bahkan lebih lebat. Kampus sudah sangat sepi, hanya penjaga keamanan yang patroli di malam hari.
"Hujan semakin deras."
Rangga menyingkap tirai kaca ruangan Naima. Menengok lewat jendela, benar saja, hujan bukannya reda tapi malah tambah deras.
"Kita tunggu setengah jam lag, kalau masih belum reda, kita terpaksa menempuh hujan itu."
"Mobil Ibu, kan, di bengkel."
"Kau tak berniat memberiku tumpangan?" Naima mendelik, Rangga menggaruk kepalanya.
"Bukan begitu, saya sih gak masalah, emangnya Ibu mau hujan-hujanan naik motor saya?"
Naima bangkit merapikan jilbabnya.
"Gimana lagi, dari pada nunggu hujan yang gak tau kapan berhentinya, sementara aku butuh mandi dan istirahat," jawab Naima, dia merapikan mejanya, memisahkan buku yang sudah dianalisis dan yang belum.
"Kita pulang sekarang aja, saya sangat lapar."
"Sebaiknya barang-barang kita, ditinggal saja, takutnya semuanya basah," ujar Naima
"Oke."
Rangga meraih jaketnya, berjalan mengikuti Naima dari belakang. Tempat parkir tidak begitu jauh dari gedung jurusan, hanya beberapa meter dan diberi atap seperti kanopi sepanjang koridornya.
Naima berdiri di depan gedung, beberapa detik kemudian Rangga muncul.
"Yakin, Bu? ini deras banget."
"Yakin, ayo!" Naima bersiap-siap untuk naik ketika tawaran Rangga menghentikannya. Rangga turun dari motor, membuka jaketnya.
"Pakai ini!"
"Tidak usah." Naima menolak dengan halus.
"Fisik saya lebih kuat dari pada Ibu." Rangga tak menunggu jawaban Naima, dengan sigap dia berhasil memasangkan jaket itu ke tubuh Naima, dia terlihat lucu, tubuhnya tenggelam karena jaket Rangga yang kebesaran.
Tidak hanya sampai di sana, Rangga membuka helmnya, memasangkan ke kepala Naima tanpa minta persetujuan terlebih dahulu, dia sedikit membungkuk, mendekatkan wajahnya ke wajah Naima, memastikan helm itu terpasang dengan baik.
Naima tak berbuat apa-apa, dia mencium aroma cologn maskulin yang sudah bercampur dengan keringat, tapi tetap saja laki-laki itu wangi.
"Kau sendiri?"
"Jangan cemaskan saya, ayo!" Rangga menyalakan motornya, Naima naik dengan ragu, hitungan detik, mereka sudah basah kuyup, tak sedikit pun wajah menyesal di wajah Rangga, dia terlihat tulus.
Naima bersumpah, ini sangat dingin, tubuhnya serasa beku, Rangga terlihat biasa saja.
"Dingin, ya, Bu." Rangga mengeraskan suaranya yang bertarung dengan suara hujan.
"Tangan ibu taruh di sini."
Rangga dengan cepat menarik tangan Naima ke perutnya, awalnya Naima menolak, tapi sindiran Rangga membuatnya menurut."Peluk suami sendiri karena terpaksa gak dosa kali, Bu."
Naima berdecak, apartemen mereka masih jauh, sekitar empat puluh menit lagi, tak bisa dibayangkan, dia bisa jatuh pingsan karena kedinginan.
Dengan berat hati Naima melingkarkan kedua tangannya di perut Rangga, Naima heran kenapa tubuh itu malah hangat padahal sudah basah kuyup, awalnya canggung, beberapa saat kemudian merasa nyaman.
Kehangatan punggung kokoh Rangga mengalir kedadanya dan menghangatkan seluruh tubuhnya. Naima merasa nyaman, tak ada godaan nakal pemuda itu, dia memang semata-mata berniat menolong.
Menit berlalu, perjalanan masih jauh, hujan masih turun deras, Naima menyandarkan kepalanya di bahu lebar Rangga, sungguh... baru kali ini kontak fisiknya dengan laki-laki. Dia begitu terlindungi, merasa aman, untuk sesaat dia lupa bahwa Rangga adalah mahasiswanya.
Tak ada obrolan sepanjang perjalanan, motor melaju stabil, Rangga tak mengeluh sedikitpun. Dia terlihat menikmati hujan sambil bersenandung kecil, bahkan dia tidak peduli kalau Naima menempel begitu lekat dengan punggungnya.
"Aman, kan, Bu?" Rangga melirik spionnya, Naima agak malu karena kedapatan bersandar di bahu itu.
"Aman," jawabnya agak keras.
Naima salut dengan orang tua Rangga, yang sangat hebat bisa mendidik akhlak anaknya sehingga dia seperti ini, walaupun dia kurang pintar, untuk urusan akhlak Rangga patut di acungi jempol. Mereka baru kenal beberapa hari, tapi laki-laki itu mau mengorbankan dirinya demi ke amanan dan kenyamanan Naima.
Andai saja pernikahan ini betulan, andai saja Rangga belum punya pacar, dan andai saja mereka saling mencintai, tentu momen ini sangat manis.
Naima memejamkan matanya, menyandarkan kepalanya kembali, memeluk perut liat Rangga dengan kuat. Untuk sesaat, dia akan menikmati perannya sebagai seorang istri, walau pun tak ada perasaan apa apa diantara mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjerat Cinta Mahasiswa Abadi
HumorNaima, 30 tahun, seorang dosen yang cerdas didesak untuk menikah oleh kedua orang tuanya. Rangga, Mahasiswa Abadi terancam DO dari kampus karena tidak lulus-lulus. Bagaimana jika keduanya menikah? Naima membantu Rangga untuk menyelesaikan kuliahnya...