(9.Membawa Perasaan)

101K 883 8
                                    

Baru saja pintu apartemen dibuka, Naima berlari ke kamar mandi, baju basah kuyup ini harus segera di singkirkan. Rangga pun sama, apartemen ini memiliki dua kamar mandi, satu di kamar Naima dan satu lagi di dekat dapur.

Air hangat terasa begitu nikmat sehingga Rangga betah berlama lama membersihkan dirinya, ternyata menjadi orang kaya itu memang menyenangkan, untuk mandi saja dia tidak perlu menyalakan kompor untuk memanaskan air.

Naima selesai lebih dulu, perutnya keroncongan karena terakir di isi jam satu siang. Untung saja sebelum ke kampus dia sudah memasak terlebih dahulu, jadi dia tidak perlu repot repot memikirkan apa yang akan dimakan malam ini.

Naima mengalihkan perhatiannya ke pintu kamar mandi, saat pintu itu terbuka pelan, menampilkan Rangga yang hanya memakai selembar handuk.

Naima langsung mengalihkan pandangannya, tak ingin menikmati pemandangan itu lebih jauh. Tapi sebagai wanita dewasa dia bisa menilai, Rangga memiliki tubuh sempurna, perut kotak-kotaknya lebih liat daripada yang Naima pikirkan.

"Aku tunggu di meja makan."
Naima fokus menata piring dan sendok. Bayangan rambut basah berantakan Rangga tersimpan jelas di pikirannya.

Rangga menjawab singkat kemudian berlalu dari hadapan Naima, dia terlihat biasa saja, tidak ada rasa canggung sedikit pun.

Hujan masih turun dengan deras, tak ada tanda-tanda akan berhenti. Beberapa menit kemudian Rangga muncul dengan kaos oblong bewarna hitam dan celan jins selututnya, dia terlihat lebih muda dengan penampilannya itu.

"Ibu hobi masak, ya? Ini enak."
Rangga berkomentar, padahal baru sesuap nasi yang ditelannya.

"Ya begitulah, aku terbiasa di dapur sejak di bangku SMP, kau, kan, tau, ibuku sangat galak."

"Beruntung, ya, suami Ibu nanti."

Naima mengangkat wajahnya, menyelidiki maksud dari kalimat Rangga barusan.

"Maksudmu?"

"Ya, suami Ibu, tapi bukan saya, suami beneran Ibu nanti."
Jawaban itu terlalu jujur, tapi tidak enak didengar.

"Mudah-mudahan," jawab Naima lesu, selera makannya langsung hilang.

"Andai saja pacar saya bisa memasak, dia hanya pintar berdandan dan menghabiskan uang." Suara itu terdengar sedih.

"Kenapa kau mau dengan gadis seperti itu?"

"Namanya aja cinta, gimana lagi."

"Cinta yang nggak masuk akal." Naima merasa pernyataan itu lebih cocok untuk dirinya sendiri.

"Ibu pernah jatuh cinta gak?"

Naima menerawang, pernah, jatuh cinta yang sangat parah, yang mematahkan hati dan semangatnya, sehingga dia menjadi wanita yang meyedihkan.

"Menurutmu?" jawab Naima

"Kayaknya belum."

"Anggap saja begitu." Naima menyuap nasinya, tak tertarik melanjutkan percakapan itu.

"Ibuk lebih cantik kalau gak pake hijab." Rangga mengutarakan isi hatinya.

"Benarkah?" Naima menatap Rangga sekilas.

"Iya, kayak anak SMA... apalagi dengan piyama hello kitty itu."

Naima diam saja.

"Bu,"

"Hmmm."

"Boleh gak, saya jumpa pacar saya?"

"Kalau bab dua-mu sudah di ACC baru boleh."

"Kasihani saya, saya udah rindu banget, udah seminggu gak jumpa dia." Wajah Rangga memelas.

"Itu urusanmu, semakin cepat kuliahmu selesai, semakin cepat pernikahan ini berakhir." Suara Naima semakin ketus, moodnya sedang tidak baik.

"Bu,"

"Apa lagi, sih?" Naima meletakkan sendoknya, sambil menjawab bosan.

"Sebenarnya kita berdosa lo buk mempermainkan pernikahan."

"Aku tau, tapi ini sangat terpaksa, demi ayah ibuku, dan demi ayahmu juga," jawab Naima.

"Kenapa ini terjadi pada kita ya?" Rangga semakin banyak bertanya, nasi di piringnya sudah tandas.

"Aku tidak tau, mungkin takdir,"
jawab Naima asal.

"Saya sekarang masih gak percaya, sudah memiliki istri, walauoun pura- pura."

Naima diam saja dan melanjutkan menyuap nasi kemulutnya.

"Padahal hayalan saya dulu, menikah dengan orang yang saya cintai, resepsi sederhana, dan bulan madu ke suatu tempat."

"Kau bisa lakukan itu dengan pacarmu, setelah kita berpisah."

"Mudah-mudahan saja kesampaian, acar saya orang yang sangat sulit, dari sekarang aja dia sudah merancang bulan madu ke luar negri, duit dari mana." Wajah Rangga berubah putus asa.

"Cari aja wanita lain, susah amat."
Naima tidak tertarik membahas pacar Rangga.

"Ibu aja gimana?"

"Heh?" Naima melotot.

"Saya bercanda." Wajah Rangga tanpak puas setelah mengerjai Naima.

Naima termenung, dia pikir tawaran itu benar-benar serius. Seharusnya dia selalu ingat bahwa Rangga adalah pemuda konyol, sebegitu menyedihkan dirinya, terlalu membawa perasaan momen kehujanan berdua, sehingga dia menjadi lemah, padahal momen itu tak ada artinya bagi Rangga.

Naima menarik nafas, beranjak dari duduknya, mencuci piringnya sendiri. Dia tidak boleh jatuh cinta, cukup sekali dia menjadi orang bodoh, Rangga dari awal bukan untuknya, dia akan melepaskan pria itu kapan saja.

Tak semestinya dia membuka diri pada laki-laki itu, mulai saat ini Naima bertekad, akan komitmen dengan kesepakatan mereka, Rangga wisuda dan mereka akan bercerai.

Alangkah miris nasibnya nanti, menjadi janda yang baru menikah beberapa bulan, dalam keadaan masih perawan. Mungkin setelah ini, dia akan menghabiskan waktu sendiri sampai tua.

Terjerat Cinta Mahasiswa Abadi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang