"Adel, ayo cepat!" Mama sudah bersiap diatas motor sejak tadi. Tapi Senin pagi kali ini sama sekali tidak memiliki daya magnet untuk membuatku tertarik ke sekolah baru.
Aku Adhera Ramadhanis Zahra. Mulai hari ini, aku resmi menjadi siswa SMA. Oh, tidak aku hanya bercanda. Sebenarnya, aku resmi menjadi siswi SMA—karena aku perempuan hehe.
Jangan tanya kenapa aku masih memakai seragam SMP di hari pertama sekolahku. Kalian tahu MOS, bukan? Hari-hari petaka yang harus dialami siswa baru sebelum diperkenankan duduk manis menikmati masa belajar yang tentram. Dan sebenarnya, seragam SMA-ku pun belum selesai dijahit.
Aku sudah duduk diatas motor dua detik setelah Mama meneriakkan panggilan untuk kedua kalinya. Motor dipacu 40 km per jam dan hilang di ujung Jalan Margayasa.
Tujuh menit berlayar di jalan raya, kami akhirnya sampai di depan gerbang sekolah. Aku mencium tangan Mama lalu bergegas menengadahkan telapak tangan secepat kilat. Seketika meluncurlah uang saku Rp10.000,00 dari tangan Mama.
"Ayah sama Mama selalu mendoakan buat kebaikan kamu. Mama bangga sekarang kamu sudah SMA, cepat sekali tumbuhnya." Perkataan Mama disimpul dengan senyuman tulus.
Sayang, aku cuma bisa membalasnya dengan senyum pura-pura tulus. Aku tidak tahu, hatiku sulit sekali menyatu dengan Mama. Sekian detik berikutnya, aku hilang dari hadapan Mama.
Aku mencoba sekali lagi menengok ke arah Mama. Senyum simpulnya seperti ditabur formalin dan Sakarin. Awet dan manis sekali. Tapi tidak menyehatkan. Karena tubuhku tidak bisa meresponsnya.
Semakin menjauh dari Mama, aku sempatkan sekali lagi melirik ke arahnya. Mama sedang mengobrol dengan cowok berjas biru dongker. Almamater itu milik anak OSIS. Aku tidak ingin tahu siapa dia, tapi aku ingin tahu mereka sedang bicara apa.
Asal kalian tahu, kadar ke-kepo-anku lebih tinggi dari kalsium segelas susu atau tiga buah lolipop milkita. Aku juga punya rahasia, yang jika orang tahu, rasanya aku lebih memilih dilahap bumi saja daripada harus terbongkar kekuranganku itu.
Yang kutahu, kekuranganku ini diwariskan oleh Mama. Karena Mama punya kekurangan yang sama denganku.
Aku tiba di aula dan memilih duduk sendiri di salah satu sisi ruangan. Menunggu acara dimulai sambil membaca deretan pesan masuk di whatsappku.
Ada sekitar dua puluh menit aku menunggu. Tapi acara tidak sesuai jadwalnya. Akhirnya, aku memutuskan keluar mencari udara segar sambil menelisik sudut-sudut sekolah.
"Wah, luas banget!"
"Wah, banyak banget bukunya!"
"Ih, lucu banget tanamannya,"
Dan masih banyak wah, ih, dan wow-ku selama berkeliling sekolah. Aku masih ingin berkeliling jika saja ponselku tidak bergertar karena panggilan masuk dari Hana—teman SMP-ku.
"Iya, halo?"
"Eh, bodo banget! Lo dimana, woy???" Suara Hana membuat kedua mataku membulat terbelalak.
"Apaan sih? Kok tiba-tiba nyolot!"
Aku menekan gambar telepon merah di layar ponselku. Mengakhiri panggilan kasarnya, "Ah, mengganggu!"Saat hendak memasukkan ponsel itu ke dalam saku, tiba-tiba getarannya kembali. Panggilan yang sama dari orang sebelumnya. Aku tidak berminat mengangkat teleponnya.
Sekian detik kemudian, karena gagal menghubungiku lewat panggilan. Hana mengirim pesan,
BURUAN KE AULA ATAU ABSEN LO DITULIS ALFA DAN DIHUKUM PARA SENIOR BERWAJAH SINGA!!!
Pesan yang diketik dengan capslock jebol dan bold itu berhasil memecut kedua kakiku berlari dengam kecepatan kuda menuju aula.
Meski akhirnya tetap saja terlambat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adelaide (Completed)
Teen FictionAdhera, gadis bertubuh gempal yang sangat mudah dibaca kelemahannya. Sekali angkat bicara, ratusan orang bisa tertawa. Ah, tidak juga. Aku hanya bercanda. Itulah aku, maaf. Maksudku, maaf aku harus menceritakan tentang hal-hal yang aku benci. Aku be...