Bombermu Menyembunyikan Identitasmu

633 59 4
                                    

"Jadi betul nih nggak mau sama Papa aja?" tawar Mama sekali lagi. Padahal berulang kali aku sudah menggeleng. Dan jawabanku masih sama, "Nggak usah, Ma! Adel sama Hana."

Baru saja aku menyebut namanya, Hana sudah mengetuk pintu. Setidaknya itu meyakinkan Mama kalau aku tidak perlu diantar Papa ke sekolah.

Mama mempersilakan Hana masuk, sedangkan aku mempersilakan sisa sarapan untuk segera masuk ke mulutku. Belum selesai mengunyah dan menelan, aku sudah mengguyurnya dengan segelas susu. Seret.

"Yaudah, yuk!" ajakku sambil menggandeng Hana. Seperti biasa, di depan motor Hana aku menyalimi Mama dan Papa. Hana ikut juga. Dan meluncurlah uang saku harianku dengan mulus di telapak tangan.

"Assalamu'alaikum," ucap kami-aku dan Hana-bersamaan.

"Wa'alaikumsalam," jawab Mama dan Papa bersamaan pula.

Aku tidak tahu. Hari ini terasa berat sekali. Aku mencoba mengingat semua yang harus kubawa. Peralatan tulis, ada. Perlengkapan MOS, ada. Seragam juga tidak salah pakai. Lalu apa?

JTAAAKK

Rasanya sakit sekali, tiba-tiba dudukku di jok motor Hana terasa tidak enak. Aku melongok ke bawah, kemudian meminta Hana berhenti. "Oh, jadi ini yang bikin perasaanku nggak enak."

"Bannya butuh ditambal, nih!" seruku sambil manyun. Pasalnya bukan cuma roda sepeda motor Hana yang berputar, jarum jam di pergelangan tanganku juga.

"Iya, ih. Bocor. Coba aku tanya bengkel daerah sini ke tukang sapu itu ya!" Hana menunjuk orang berseragam oranye dengan sapu di tangannya. Untung seragamnya tidak hitam, jadi dia tidak mirip penyihir.

"Iya, cepetan. Udah jam enam lebih lima belas menit." Aku bisa saja bilang jam enam seperempat. Tapi, tidak semudah itu bagiku.

Hana berjalan ke arah tukang sapu dan kembali ke tempat kami berhenti dalam 2 menit. Katanya, "Jarang ada bengkel disini. Tapi tukang sapu itu bisa nambal ban. Dia suruh kita ikutin dia, rumahnya deket dari sini."

Kami medorong motor mengikuti langkah bapak tukang sapu. Didepan sebuah rumah yang cukup bagus, kami berhenti. Bapak itu menyuruh kami duduk sebentar di terasnya. Dia mengeluarkan jurus tambal bannya.

Sekian detik berikutnya, dari dalam rumah muncul seorang cowok berseragam SMP, tapi berkat topi SMAN 3 yang tergantung di ranselnya membuat aku ingin bertanya, "SMAN 3 juga ya?"

Dia yang merasa aku tanyai menunduk. Ya, aku memang hanya setinggi bahunya. Tapi kalau sampai menunduk begitu, jujur saja aku jadi agak tersinggung.

"Iya, kalian juga?" jawabnya lembut.

Seketika aku ingat betul wajahnya. Dia yang kemarin mau membantuku masuk ke aula, tapi bukankah yang kemarin wajahnya dihiasi dagu yang tegas? Kenapa sekarang jadi manis? Aku mencegah diriku menanyakan hal itu.

"Iya, berarti kita satu sekolah." Hana menjawab cepat.

"Bannya bocor ya, yah?" tanya cowok itu pada bapak tukang sapu yang mungkin ayahnya-karena dia menyapa bapak itu dengan sebutan "yah".

"Iya, kamu nggak mau nganterin temenmu ini dulu? Nanti bolak-balik. Daripada mereka telat."

"Dede piket, yah. Jadi berangkat awal. Dimas juga." jawab cowok yang kutebak bernama Dede itu lembut pada ayahnya.

"Yaudah, berangkat sana! Hati-hati, gak usah ngebut." bapak tukang sapu ternyata juga punya ritual yang sama seperti Mama, meluncurkan uang saku setelah tangan kanannya dicium oleh anaknya. Bedanya uang kertas yang meluncur kali ini berwarna hijau, "berdua sama Dimas." Tambah bapak tukang sapu.

Adelaide (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang