Pagi ini rasanya percuma aku membawa semua buku sesuai jadwal. Ditambah beberapa buku paket yang tebalnya mencapai tiga jari. Mengapa percuma? Karena hari ini sebelum jam pelajaran dimulai, aku sudah dipanggil ke ruang guru. Bahkan mungkin akan seharian disana.
Bu Alika, guru spesialis speaking yang memegang teguh per-grammar-an itu sekarang ada di hadapanku dengan setumpuk buku.
Pandangannya merasuk kedalam netraku secara menyeramkan. Tiba-tiba degup jantuntungku jadi maraton-an.
"Ini semua buku terkait grammar. Ibu kasih waktu sampai jam istirahat, minimal kamu harus baca satu buku. Bagian pendalaman materinya saja, untuk latihannya nanti saat jam istirahat langsung praktek. Ibu mau ngajar dulu," ujarnya kemudian melenggang pergi.
Aku cuma bisa meneguk ludah. Bu Alika tampak begitu ramah, tapi tipe mengajarnya sebelas dua belas dengan Pak Jimin, terlalu antusias memberi banyak tugas.
Bahasa Inggris kali ini tidak semudah yang kupelajari saat SD atau SMP. Mirip matematika, ada rumus-rumus dan keterangan rumit yang melengkapinya.
Aku tidak terlalu kesulitan memahami beberapa bacaan, karena yang kubaca sekarang adalah buku yang paling sederhana. Tipis dan ringan di mata. Tapi, siapa sangka, saat Bu Alika kembali ke ruang guru, ia malah marah-marah.
"Harusnya kamu belajar yang ini, Adel!" Bu Alika menunjuk buku lain yang lebih tebal.
"Tapi buku ini ada dalam tumpukan yang sama," sanggahku kunadakan sopan.
"Ini mah anak SMP juga bisa, kalau hanya perihal Present dan Past Tense."
"Saya minta maaf, Bu." Aku menunduk.
"Begini saja, buku ini kamu bawa pulang. Pelajari di rumah. Dua hari lagi kita belajar menyusun kalimat yang benar," Bu Alika menyodorkan buku yang dimaksudnya. "SESUAI DENGAN GRAMMARNYA."
"Baik, bu."
Aku terkesiap, baru kali ini jam istirahat terasa menyedihkan.
"Besok kamu dispen untuk bikin paspor, 'kan?" tanya Bu Alika dengan nada sudah stabil.
"Iya, Bu."
"Nah, nanti jam sebelas kamu temui guru sosiologi dan sejarah. Percuma kalo nanti kamu bisa speaking tapi nggak tahu mau ngomong apa. Kamu harus belajar banyak soal isu-isu kemanusiaan dan sejarah dunia buat modal debat. Topik debat baru akan diberikan sehari sebelum hari H, 'kan?"
"I-iya, Bu."
"Kamu itu Iya-bu-iya-bu terus! Harusnya lomba macam begini itu biar anak IPS aja yang maju. Mereka lebih bagus masalah percaya diri. Apalagi, ini menyangkut pelajaran IPS seperti sosiologi, sejarah, dan lain-lain."
Aku tercekat, nyaris tidak bisa bernapas. Rasanya aku ingin mengatakan, "Dulu saya daftarnya ke kelas IPS, bukan salah saya kalau akhirnya dimasukkan kelas IPA, huft!"
Tapi, dengan jawaban itu mungkin justru membuat guru wanita berkacamata bolong itu makin naik darah.
"Iya, Bu."
"Nah, kan Iya bu lagi! Pertemuan selanjutnya ibu akan cari tema debat. Nanti kita adu argumen sebagai latihannya, begitu seterusnya untuk setiap hari."
"Iya, Bu."
Bu Alika buru-buru beranjak dari tempatnya karena muak mendapati iya bu-ku sekali lagi. Hei salahku dimana? Apa aku harus mengatakan sebaliknya, "Tidak, Bu" begitu?
***
Merasa tertekan dengan hari pertama, aku mengendap berjalan ke arah jendela. Sepertinya aku perlu merasakan atmosfer bahagia di luar sana. Aku terkekang di dalam sini, ini lebih menyedihkan daripada kandang singa alias RO itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adelaide (Completed)
Novela JuvenilAdhera, gadis bertubuh gempal yang sangat mudah dibaca kelemahannya. Sekali angkat bicara, ratusan orang bisa tertawa. Ah, tidak juga. Aku hanya bercanda. Itulah aku, maaf. Maksudku, maaf aku harus menceritakan tentang hal-hal yang aku benci. Aku be...