Dan Inilah Saatnya

177 21 1
                                    

CGK-Soekarno Hatta. Kalian jelas tahu itu kode apa, 'kan? Percaya atau tidak, akhirnya aku bisa melalui dua minggu gerilya di ruang guru. Berjuang dan belajar dengan sedikit mengorbankan KBM di kelas.

Rasanya, aku kian menjadi orang yang individualis. Rasanya, aku makin terjebak dalam ke-introvert-anku, nyaman dengan diriku sendiri.

Awalnya kupikir hidup tanpa teman-teman akan sesulit menonton film Tiongkok tanpa subtitel. Nyatanya, aku bahkan masih bisa bernapas tanpa mereka. Ya, meskipun sesekali rindu melanda.

Sekarang aku ada di bandara, menunggu keberangkatan yang tertunda satu jam dari jadwal sebelumnya. Ada Mama, Papa, Bu Alika, dan tebak lagi siapa?

Yap, Iyas yang mendorong kursi roda Yasa, keduanya ada disana. Yang membuatku tak habis pikir, mengapa Sandi ikut hadir diantara mereka. Aku bahkan tidak mengenalnya terlalu dekat, mengapa mantan teman sekelasku itu repot-repot kemari?

"Eum, sebentar, Ma, Adel mau ke toilet." Aku menarik koper menuju toilet selepas Mama mengangguk.

Aku buru-buru ke toilet cuma untuk mengecek kerapian pakaianku. Kaos putih polos lengan panjang, kulot dan kerudung cokelat susu, sneakers putih, dan tak lupa bomber biru dongker yang si Empunya tidak memunculkan batang hidung di bandara siang ini.

Terlalu buru-buru membuatku tidak sengaja menyenggol seorang laki-laki yang menyeret tiga koper besar sekaligus. Koperku menyangkut di salah satu koper miliknya. "Eh, maaf, Kak." Aku meringis.

"Oh iya, nggakpapa."

Sedetik kemudian seorang gadis muda menghampiri laki-laki itu sambil menoyor bahunya. "Bang Bintang gimana, sih?! Kok Dinda ditinggal?"

Merasa tidak ada urusan lagi aku mengangguk permisi dari hadapan mereka, lalu kembali berjalan ke toilet, kali ini lebih lambat dan hati-hati.

Aku merapikan lipatan kerudungku, memastikan kalau penampilan casualku tidak kelihatan norak. Takutnya, si pemilik bomber tiba-tiba datang dan melihat bombernya dikenakan asal-asalan mirip jemuran berjalan.

Aku kembali dalam tiga menit. Namun, Gaga tidak juga datang, padahal penerbanganku sudah tertunda. Aku menghampiri Iyas dan sedikit berbisik ke arahnya, "Iyas, kenapa ada Sandi?"

Bukannya menjawab pertanyaanku, Iyas justru memanggil anak laki-laki bertubuh bongsor itu, "San!"

Sandi mendekat, kemudian Iyas malah melangkah mundur. Aku meneguk ludah setengah grogi.

"Gue kesini buat wakilin Kak Rangga, gue harus pastiin lo pake bombernya dia." Sandi menatap dalam dan lurus ke netraku. Aku refleks memalingkan pandangan.

"Aku nggak berharap dia dateng, aku pake bomber ini juga cuma memenuhi amanah dia," kataku sambil memutar bola mata salah tingkah.

Aku memutar tubuh hendak meninggalkan Sandi, tapi sebaris ucapannya menahanku. "Dan ada sesuatu yang harus gue sampein."

"Apa?" kepalaku tertoleh sembilan puluh derajat.

"Gue boleh pinjem ponsel lo?" tanya Sandi serius. Dengan penuh pertimbangan dan kerguan akhirnya ponselku berpindah dari saku ke tangan Sandi.

Dia mengetikkan sesuatu, sebuah nomor ponsel, kemudian menyimpannya. Dia melakukannya sebanyak dua kali, entah yang pertama terhapus atau memang ada dua nomor yang disimpannya.

Sandi mengembalikan ponselku dengan posisi layar masih menampilkan buku kontak telepon.

"Naga?" dahiku berkerut, alisku menyatu, dan segala ekspresi bingung tumpah ruah di mukaku.

"Tiga hal yang lo benci di dunia adalah Mama lo, IPA, sama Naga, 'kan? Anak laki-laki gembul dan dekil yang udah rebut kebahagian masa kecil yang harusnya milik lo." Sandi menyebutkannya secara gamblang, membuat aku refleks mendongak menatapnya untuk beberapa detik.

Adelaide (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang