"Gaga nggak seharusnya ngirim video itu tanpa persetujuan kita kemarin! Ah!" kataku sambil membasuh muka dengan angin.Wajah Iyas berubah datar, "maksudmu?"
"Pasti Gaga adalah pengirim misterius itu, deh!" decakku kesal.
"Tapi dia nggak bilang apapun soal video itu. Bahkan pas aku cerita." Iyas mengerutkan dahinya.
"Kamu ketemu Gaga dimana?" tanyaku sembari menautkan kedua alis.
"Kak Rangga jenguk kesini semalem, sama PACARNYA kalau nggak salah." Iyas menekankan kata pacarnya, lalu memutar bola mata secara malas.
"Pasti gara-gara cewek itu dipanggil yang, 'kan?" kataku dengan penuh percaya diri. Menurutku Iyas sama salahpahamnya sepertiku saat pertama kali bertemu Mayang, menduga gadis itu pacar Gaga.
Iyas memberikan anggukan atas pertanyaanku, kemudian aku ber-heh sambil tertawa kecil.
"Kalau kamu cerita kronologi kejadiannya ke Gaga, berarti dia tau kalau kamu punya narkolepsi dong?"
"Aku cuma bilang kalau aku ngotot boncengin Yasa padahal nggak bisa naik motor, makanya jatuh. Dia nggak tanya lebih lanjut. Nggak se-kepo kamu," Iyas menunjuk tepat kedepan mukaku, membuat kepalaku refleks terdorong ke belakang.
"Biarin!"
Getaran di saku rok seragam membuatku harus merogoh ponsel keluar dari persembunyiannya. Sebuah pesan masuk dari nomor tidak disimpan. Setelah mengecek profilnya, aku ber-oh dalam hati ketika membaca tulisan eRDe.
Ayo bicara! Ada yang janggal.
Melihat kedua alisku bertautan setelah membaca pesan itu, Iyas bertanya, "kenapa?"
"Gaga..." aku membalik ponsel seratus delapan puluh derajat menghadap Iyas. Tanpa sempat membaca isi pesannya aku membalik ponsel ke hadapanku seperti semula.
"Aku akan klarifikasi soal pengirim misterius itu ke Gaga. Aku duluan ya!"
Aku meninggalkan Iyas tanpa menunggu jawaban darinya. Satu dua langkah berlalu, aku menoleh lagi ke arah Iyas, "Syafakallah."
Iyas melukis senyum di wajah lemahnya. Mengangguk sambil mengedipkan matanya perlahan.
Aku meminta izin pada guru dan orang tua Iyas untuk pulang duluan. Awalnya tidak diijinkan, tapi akhirnya diperbolehkan. Aku naik angkot ditemani Haidan atas perintah Pak Jimin.
***
Langkahku tidak bisa santai saat menuju kelas Gaga. Mulutku ingin cepat dibuka karena dalam benakku penuh tanda tanya.
Aku sengaja berpisah dengan Haidan di depan lobi sekolah, pasalnya kalau harus ke kelas dulu pasti kami akan dihujanin pertanyaan seputar Upin Ipin di rumah sakit.
Aku langsung menuju kelas Gaga sambil berharap kelasku dan kelas Gaga sama-sama jam kosong, supaya kami bisa sedikit membicarakan keganjalan yang Gaga sebut barusan.
Tentu, aku melewati deret kelas X IPS sebelum akhirnya sampai di kelas XI. Tebak, aku bertemu siapa?
Ya, Hana.
Apakah gadis itu menyapaku saat mata kami bertemu? Tentu, tentu tidak. Saat aku hendak menyapanya, dia memalingkan wajahnya seperti saat menghindari asap kenalpot motor lawas yang hitam pekat.
Baiklah, aku akan belajar bodo amat. Memikirkan itu bisa membuat aku kehilangan waktu dengan percuma.
Pagi menjelang siang ini cukup berpihak padaku, Kelas XI-A1 sedang jam kosong. Aku menangkap Gaga duduk di depan kelas sambil memainkan ponselnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adelaide (Completed)
Novela JuvenilAdhera, gadis bertubuh gempal yang sangat mudah dibaca kelemahannya. Sekali angkat bicara, ratusan orang bisa tertawa. Ah, tidak juga. Aku hanya bercanda. Itulah aku, maaf. Maksudku, maaf aku harus menceritakan tentang hal-hal yang aku benci. Aku be...