Eh, Bagaimana Kamu Tahu?

375 38 0
                                    

Jemariku tidak tahan untuk segera mengetik pesan pada Hana. Aku ingin minta tolong padanya supaya dia bisa menghubungi Rangga-atau orang yang menggunakan bomber Rangga.

"Hana, kamu punya nomor ponsel Rangga?"

Sebelum pesanku sempat terkirim, sebuah notifikasi whatsapp muncul di atas layar ponselku. Nomornya tidak kusimpan.

"Del, keychan-mu."

Begitulah pesannya. Aku tidak tahu siapa pengirimnya. Tidak ada foto profil ataupun nama pengguna. Hanya inisial eRDe yang kudapati.

Sepersekian detik berikutnya pesanku yang sudah terkirim dibalas oleh Hana.

"Kamu mau minta nomornya Rangga? Barusan Rangga malah minta nomormu. Kompak banget, kamu suka ya sama Rangga?"

Tiba-tiba aku merasa menyesal mengirim pesan pada Hana. Tapi aku juga mendapati sebuah fakta, mungkin nomor berinisial eRDe barusan milik Rangga.

Aku mengabaikan pesan Hana, dan kembali membuka pesan yang kuduga dari Rangga. Jemariku terasa gatal untuk segera membalasnya,

"Tolong simpan ya, terima kasih."

Meskipun aku tidak suka pada Mama, aku tetap menghargainya. Keychan itu dibuat oleh keterampilan tangan Mama sekitar enam atau tujuh tahun lalu. Saat aku masih SD, saat dimana puncak ketidaksukaanku pada Mama terjadi. Di usia sedini itu aku sudah mengenal benci, oh malangnya.

Sambil menikmati perjalanan pulang, aku akan ceritakan bagaimana seorang anak tega membenci ibu yang sudah bertaruh nyawa demi melahirkannya. Tapi, aku tidak sebegitu bencinya, hanya persentase sayangku pada Mama tidak sebesar kekecewaanku.

Saat kelas tiga, teman-temanku yang cadel sudah minoritas. Mereka berhasil melepas masa pelonya dan mulai lancar mengatakan, "Biri-biri berburu roti rasanya gurih dan bergizi" atau sekedar bilang, "Errrrrrrrr"

Aku iseng bertanya pada Mama, "Ma, kenapa Adel belum bisa bilang L?" maksudku sebenarnya adalah bilang R.

"Nggakpapa, nanti juga pasti bisa. Mama juga belum bisa, sama sepelti Adel," ujar Mama sambil mengulum senyum.

"Lo, biasanya Mama bisa, tuh?" tanyaku polos.

"Sekalang Mama sama sepelti Adel,"

"Apa kalena Adel anak Mama, makanya Adel juga pelo sepelti Mama?" lagi-lagi aku di masa kecil bertanya dengan sangat polos. Mama cuma tersenyum.

Kemudian sampai sekarang aku menyimpulkan bahwa kecadelanku adalah turunan dari Mama. Sejak percakapan itu aku baru sadar Mama tidak pernah mengucapkan R dengan jelas lagi.

Bahkan, kebiasaanku repot-repot berpikir dua kali untuk bicara karena harus mengganti kata yang ada huruf R-nya juga ajaran dari Mama.

Itu tidak terlalu menyebalkan bagiku, tapi setelahnya aku mendapati kasus yang aneh. Mama selalu berangkat sebelum jam enam, pulang setelah ashar.

Baik Mama ataupun Papa tidak memberi tahu alasannya. Dan lagi, setelah makan malam, Mama cuma bisa menemaniku belajar dengan waktu yang hanya sebentar.

Pekerjaan sekolah juga sering dilembur di rumah, seperti mengoreksi ulangan siswanya atau sekedar begadang mempersiapkan materi pembelajaran untuk esok hari.

Aku benci IPA, karena dia menyita perhatian dan waktu Mama. Aku juga benci dia, anak laki-laki gembul berkacamata bulat, hitam, pendek, dan lemah. Dia selalu dibela oleh Mamaku ketika ditindas oleh teman-temannya.

Aku masih ingat saat Mama mengajaknya pulang untuk sekedar mengobati lukanya ketika habis didorong temannya di sekolah. Mama bahkan membuatkan teh gula batu kesukaanku untuknya-yang mana pada beberapa hari itu Mama jarang membuatkannya untukku.

Adelaide (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang