Fwens Fowevel

372 40 4
                                    

"Hai!" Sapaan orang dibalik pintu itu membuatku berjingkat. Terkejut. Beberapa siswa yang juga keluar dari kelas melirik ke arahku.

Aku tidak tahu sejak kapan Gaga berdiri di depan kelas. Bel pulang sekolah baru saja berdering.

"Kenapa?" tanyaku heran.

"Jadi pulang bareng?"

Sejak kapan aku meng-iya-kan ajakannya tadi pagi?

"Aku kan tadi nggak bilang iya, kamu boleh balikin besok atau lusa."

"Nggakpapa, aku naik mobil, kok. Sekalian nanti aku anter kamu pulang," kata Gaga dengan nada persuasif.

"Oh, aku dijemput. Jadi nggak usah, besok aja." Aku terus menolaknya lembut. Tapi lagi-lagi dia seperti memaksa.

"Kita nggak berdua doang, kok. Nanti bertiga. Dan emang kamu nggak pingin tanya darimana aku tahu kamu cadel gitu?" Gaga memelankan kata cadel.

Daripada terus menolak dan terus dipaksa, aku memberikan anggukan. Terpaksa. Dia berhasil karena aku kepo tentang tawaran terakhirnya.

Kami berjalan keluar sekolah, Gaga memarkir mobilnya di halaman rumah warga sekitar sekolah. Sebenarnya aturan disekolahku melarang siswa mengendarai mobil sendiri ke sekolah.

Setelah menyebrang, kami berjalan sekitar lima puluh meter. Ini cukup membuatku berkeringat, olahraga di siang yang terik. UVA dan UVB, jangan serang kulitku, kumohon!

Di depan Pajero abu-abu, kami berhenti. Gaga membuka kunci mobilnya, "Tiut...tiut"

"Kamu di belakang ya," kata Gaga. Sepertinya dia tahu aku sedang belajar mandiri, jadi dia tidak membukakan pintu untukku. Aku masuk. Gaga juga.

"Siapa yang satu lagi?"

"maksudmu?" Gaga balik bertanya.

Disaat aku sibuk mencari kalimat pengganti, "katamu kita bertiga, nggak berdua. Aku, kamu, terus satunya siapa?" seorang anak perempuan tinggi jenjang berjalan mendekat ke mobil Gaga.

Anak perempuan itu kelihatannya masih SMP, aku bisa menebak setelah melihat seragam yang dikenakannya. Dia terlihat sangat stylish. Semua pakaian yang melekat di tubuhnya, dari ujung kaki hingga ujung kepala, sepertinya semua barang branded.

Dia juga masuk ke dalam mobil, gadis itu sempat tersenyum ramah seketika melihatku di belakang.

"Parkirnya terlalu jauh dari sekolahku, harusnya parkir di Perumahan Bumi Mas aja, biar aku nggak kejauhan jalannya." Gadis itu mengeluh pada Gaga.

"Berangkat sendiri aja kalo gitu, nanti ganti aku yang kejauhan kalo parkir disana," Gaga mencubit hidung gadis itu dengan tangan kanannya. Aku refleks memelotot.

Mobil berjalan konstan, pemandanganku cuma dua orang yang kuduga sedang berpacaran. Gadis itu manis, sedangkan Gaga sendiri jangan ditanya. Mereka sama-sama dari kalangan orang berada pula. Jangan dibayangkan! Nanti kalian iri.

Kalau ada orang berduaan, yang ketiga setan. Jadi, aku itu apa? Setan? Kasihan!

"Dengerin apa, sih, Yang?" tanya Gaga pada gadis itu, dia memang sedang memasang earphone di telinganya. Sesekali dia bersenandung, sesekali juga tangannya menari-nari.

"Nih, dengerin!" gadis itu mencopot earphone dari telinga kirinya, kemudian memasangkan di telinga kiri Gaga.

"Bagus," kata Gaga.

Panas. AC mobil menyala, tapi entah kenapa rasanya panas. Aku mengibaskan tangan kananku cepat. Sepertinya Gaga memperhatikan tingkahku dari spion di dalam mobilnya.

Adelaide (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang