"Gaga?!" Aku menatap laki-laki itu penuh selidik. Saat ia berdiri, aku meniliti seluruh tubuhnya. Bahunya yang kokoh, kakinya yang jenjang, serta jemarinya tidak asing dalam netraku. Jemari itu seringkali kulihat menggenggam setir motor dan mobil yang kutebengi, aku yakin.
"Kenapa lo ajak ketemuannya sekarang?" tanyanya membuat aku teringat kalau sedari tadi aku menahan napas.
"Kamu Gaga, 'kan?"
"Lo nggak ada acara apa gitu buat lomba? Ini kan H-1."
"Gimana kamu bisa disini, Ga?"
"Lo izin nggak kesininya?"
"Kamu Gaga?"
"Lo nggak takut di—"
Sebelum ia sempat bertanya lagi, aku memutus perkataannya. Menegaskan kembali pertanyaan yang sempat kuulang sebelumnya, "Kamu Gaga, 'kan? Jawab pertanyaanku dulu!"
"Lo sendiri belum jawab pertanyaan gue yang pertama. Kenapa gue harus jawab pertanyaan lo dulu?"
"Emh, emang kamu nanya apa tadi?" tanyaku salah tingkah. Cukup egois hingga aku tidak memperhatikan pertanyaan laki-laki itu.
"Kenapa lo minta ketemu sekarang? Emang nggak ada acara pra-lomba? Lo izin atau enggak?" ia mengulang semua pertanyaannya secara gamblang.
"Aku pingin mundur dari lomba. Aku kabur dari acara siang ini. Mungkin dengan cara ini aku bakal didiskualifikasi," kataku dinadakan lemah. Aku tertunduk payah.
Laki-laki itu menyeretku secara halus menuju salah satu meja yang ada di sisi tepi kafe berdinding kaca. Ia menyeretkan kursi untuk kududuki, kemudian duduk di hadapanku.
"Lo bodoh!" ujarnya membuatku terbelalak seketika. Bagaimana tidak, pandangannya tajam menusuk netraku meski suaranya samar di balik masker hitam itu.
"Kamu kasar banget, sih, Ga? Bukan kaya Gaga yang aku kenal." Aku terlalu yakin bahwa jelmaan di hadapanku ini adalah Gaga.
"Gue yakin lo udah tau gue siapa. Gue bukan badak, bukan kerbau, bukan anjing ataupun buaya. Lo tahu kan siapa gue?"
Aku tertegun. "Kamu Naga?"
Ia melengserkan kentang goreng kotor di tangannya ke atas meja. Tangannya dilipat dengan tegas. Kepalanya mengangguk. "Lo bodoh!"
Ucapannya membuat mulutku terkunci seketika. Ia melanjutkan bicaranya tanpa menunggu respon dariku.
"Ada banyak orang yang berjuang supaya lo bisa sampe disini. Salah satunya adalah orang tua lo. Lo pikir bikin paspor nggak pake duit? Lo pikir guru lo dapet gaji tambahan karena harus nyempetin ngajar privat bahasa Inggris? Ada berapa pihak yang rugi kalo lo mundur kaya gini, Bego!"
Orang ini benar-benar pandai memaki. Bahkan pada orang yang baru dilihatnya pertama kali setelah sekian lama tidak berjumpa. Umpatannya tepat menusuk relungku. Kulitku serasa dicabik-cabik oleh kuku Naga itu.
"Kamu nggak tahu alasanku mundur, 'kan? Harusnya kamu tanya dulu alasanku." Jika ia memang benar Naga, aku dan batinku sepakat. Dia masih orang yang menyebalkan dalam hidupku.
"Karena lo pengecut."
"Aku mundur karena mosi debatnya adalah tentang kolonialisme, aku dapet bagian pro. Aku nggak bisa dukung penjajahan, Naga." Napasku mulai sulit diatur.
Aku bisa melihat pandangan Naga kosong. Ia seperti menelaah alibiku secara cermat.
"Tuh, kan! Lo itu bodoh. Lo cuma tinggal cari argumen pendukung, bukan berarti lo mendukung penjajahan. Penjajahan itu ada sisi positifnya, orang barat itu memperkenalkan budaya mereka ke negara yang dijajah. Penjajah itu justru yang mengawali kemerdekaan." Naga mengepalakan tangannya yang masih terlipat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adelaide (Completed)
Ficção AdolescenteAdhera, gadis bertubuh gempal yang sangat mudah dibaca kelemahannya. Sekali angkat bicara, ratusan orang bisa tertawa. Ah, tidak juga. Aku hanya bercanda. Itulah aku, maaf. Maksudku, maaf aku harus menceritakan tentang hal-hal yang aku benci. Aku be...