Del, Keychan-mu!

422 45 4
                                    

Sebelumnya Hana mencoba membujukku untuk berangkat bersama lagi naik sepeda motor miliknya—yang kemarin bannya bocor.

Tapi kali ini dia gagal, aku memilih berangkat bersama Papa. Tinggal duduk manis di dalam mobil dan tiba-tiba sudah di depan gerbang sekolah.

Sekolah benar-benar sepi, mungkin aku berangkat terlalu pagi. Sekarang aku sudah resmi menjadi siswi SMAN 3. Dan anehnya berada di kelas X-A2.

Aku tidak tahu kenapa bisa masuk kelas IPA, padahal aku tidak suka IPA. Aku tidak suka hal yang yang disukai oleh Mama. Sudah tahu kan, Mamaku guru IPA.

Dan lagi, anak IPA terkenal pintar, kaku, anti sosial, dan menyebalkan. Berbeda dengan anak IPS yang berjiwa sosial tinggi, santai, dan easy going.

Sekarang aku sudah di depan pintu kelas, aku merayap masuk dan segera memilih tempat duduk. Bangku terdepan nomor dua dari pintu itu lantas jadi pilihanku.

Sambil menunggu bel masuk, aku membuka lagi novel kesukaanku. Ka-Be-Be-I itu sekarang terbuka dan mengajakku menjelajah isinya.

Aku tenggelam dalam lukisan kata-kata penulisnya, sampai tidak sadar jika para penghuni kelas lainnya datang secara berangsur-angsur.

Sejujurnya, aku membawa novel ini memang sebagai alibi agar aku tidak diajak kenalan oleh siswa baru. Mereka akan sungkan menggangguku membaca. Aku juga tidak masalah kalau tidak kenal siapa teman sekelasku.

Tuh kan, aku kelihatan cocok jadi anak IPA. Ansos.

Dugaanku ternyata salah, seorang siswa laki-laki memanggilku dengan desisan kecil, "Sst!"

"Heh, kenalan dong!"

"Pssst... hey!"

Karena aku mengabaikannya, dia menyodok lenganku menggunakan penggaris papan tulis yang aku pun tidak tahu darimana dia dapat itu. Penggaris kayu berwarna cokelat itu membuatku refleks menoleh, terganggu. Sangat terganggu.

"Kenalan dong!" pintanya sekali lagi. Aku tahu betul wajahnya. Tapi sungguh tidak tahu namanya. Iyas atau Yasa?

"Oh, kamu! Aku pikir siapa, iseng banget!" cercaku. Aku tidak berani bertanya siapakah dia, karena itu terkesan bahwa aku pelupa atau tidak mau mengingatnya.

Ternyata anak laki-laki itu peka, dia menyebutkan lagi namanya. "Aku Iyas, dia Yasa. Udah bisa bedain?" Iyas menunjuk siswa yang duduk dibelakangnya.

"Kalau kalian diem, aku nggak bisa bedain. Tapi kalau bicara, aku bisa. Yasa bicara lebih tegas dengan nada tinggi. Kalau kamu lebih santai," kataku sembari menutup Ka-Be-Be-I-ku.

"Bagus, semoga kita bisa jadi teman baik." Kata Iyas sambil tersenyum, aku barusan menyadari kedua matanya ikut tersenyum. Lucu.

***

"Genapwa sih kitwa harus piswah kelwas?" tanya Hana sambil menguap. Aku memukul kecil bahunya, dia tidak menutup mulutnya ketika uap itu keluar dari tubuhnya yang lelah.

"Aku juga nggak tahu. Padahal aku daftarnya ke IPS."

Asal kalian tahu sekarang kami sedang duduk di teras kelas XI-A1. Agak menyeramkan, karena para siswa nerd berkumpul di kelas ini. Kelas Hana persis disebelahnya.

"Kamu mau ikut ekskul apa?" tanya Hana.

"Ikut OSIS aja, dek!" suara berat itu berasal dari jendela di belakang kami. Kami refleks menoleh, dan aku terkejut.

Dua senior yang kemarin ada di depan ruang OSIS tercetak jelas di jendela persegi itu. Mereka bergegas keluar dari dalam kelasnya.

Mereka tidak terlihat kaku sama sekali sebagai anak IPA. "Oh, Rangga, kan?" tanya Hana.

Adelaide (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang