"Cepat! Cepat!"
Situasi sangat kacau. Semua orang bergegas ke sana-kemari sambil berteriak satu sama lain.
Meski garis polisi sudah dipasang, kerumunan di sekitar tempat itu tidak terurai, malah bertambah padat. Ambulans dan mobil-mobil pemadam kebakaran hilir mudik, membuat jalan kecil itu semakin sempit.
Detektif Toby Freeman dan Detektif Bob Macquire dari kepolisian New York sedang meneliti laporan di tangan mereka dengan seksama. Seorang petugas polisi dan kapten pasukan pemadam kebakaran berlari-lari menghampiri mereka.
"Bagaimana?" tanya Freeman pada kedua orang itu. Dia menyeka wajahnya yang berkeringat.
"Kami sudah berhasil membawa keluar seratus empat puluh orang. Hampir seluruhnya sudah dibawa ke rumah sakit. Tidak ada korban jiwa," jawab si petugas.
"Kami masih mencari korban lainnya," timpal si kapten pemadam kebakaran.
"Apa maksudmu 'masih mencari korban lainnya?'" tanya Freeman ngeri.
"Menurut informasi dari manajer bioskop, hari ini telah terjual seratus lima puluh tiket. Ditambah pegawai bioskop yang berjumlah dua puluh orang, maka—"
"Maksudmu masih ada tiga puluh orang lagi di dalam sana?"
Freeman berlari ke arah gedung bioskop. Betul-betul gila. Pemadam kebakaran dan polisi itu menyusul buru-buru di belakangnya. Kabut putih masih melayang keluar dari lantai paling atas.
Macquire bergegas ke perbatasan garis polisi. Salah satu tangannya menekan masker ke wajah sementara tangannya yang lain membuat isyarat instruksi. "DAERAH INI HARUS DISTERILISASI SEKARANG JUGA!"
Seorang pria botak berkacamata yang memakai sweter kotak-kotak, nyerobot maju. Dia pemilik toko barang antik di depan Ziegfield dan tidak begitu senang banyak orang berkerumun di depan etalasenya tanpa membeli. "Sebenarnya apa yang terjadi di sini, detektif?"
"Ada kebocoran klorofluorokarbon dalam konsentrasi tinggi di sistem pendingin sentral bioskop ini," jawab Macquire. "Gas itu beracun dan mematikan. Kalian tidak bisa berada di sini!"
Si pria botak segera kabur dengan histeris.
"Apa Anda punya dugaan siapa yang melakukan perbuatan ini, detektif?" Salah seorang pria berwajah rupawan mengacungkan mikrofon ke arah Macquire. Name-tag yang terjuntai di lehernya bertuliskan Terence Adler. New York Today. Wartawan.
Entah mengapa Detektif Macquire merasa mengenali wartawan yang satu itu. Wajahnya cukup familier. Dalam sekejap, selusin kamera-kamera dari stasiun televisi lain juga ikut terarah padanya. Ada logo NBC, ABC dan CBS di situ.
Detektif Macquire mengumpat keras-keras dalam hati. Hal terakhir yang ingin ditemuinya dalam kariernya yaitu pers di tempat kejadian perkara. Polisi bilang 'luka tergores,' pers akan menulisnya sebagai 'pendarahan'. Polisi bilang 'terbentur,' pers akan menulis 'geger otak'. Polisi bilang 'kebakaran', pers akan menulis 'teror bom'.
"Sejujurnya kami masih belum tahu," kata Macquire gugup. "Dari dampak yang ditimbulkan, peristiwa ini cukup mengejutkan. Kami masih menyelidiki."
"Apa ada korban jiwa?"
Macquire berusaha mengelak tetapi entah sengaja atau tidak, Adler malah mendesaknya ke tengah kerumunan kamera.
"Kami masih menunggu hingga evakuasi tuntas."
Sementara Macquire berkutat dengan pers, Freeman melompat di antara selang-selang pemadam kebakaran dan menghambur ke arah pintu depan gedung bioskop yang tertutup kabut putih pekat. Klorofluorokarbon! Sepanjang enam belas tahun bekerja di kepolisian New York, Freeman sudah melihat begitu banyak hal mengerikan. Tapi yang satu ini lain. Dia tak pernah menyangka bakal ada maniak yang melepaskan gas beracun di dalam sebuah gedung bioskop di Manhattan. Apa alasan si pelaku menghabisi orang-orang malang yang gemar nonton film?
![](https://img.wattpad.com/cover/175996761-288-k188531.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Rich & The Lucky One [End]
General FictionMenghabiskan satu milyar dolar dalam seminggu? Ah, itu sih gampang! Semua orang berpikir begitu setelah menonton pengumuman akbar yang dilakukan Vincent Krust - sang megamilyuner terkaya di dunia. Krust mengadakan pengundian massal yang menyertakan...