19. Malam di Manhattan

3.7K 651 40
                                    


Malam itu, bulan tidak nampak di langit. Awan tebal bergulung-gulung menurunkan hujan gerimis yang sepertinya tidak akan berakhir di atas Manhattan. Para pejalan kaki yang terlalu bodoh untuk tidak membawa payung, berlari-lari menghindari hujan. Tidak ada mempedulikan sosok basah kuyup yang setengah berlari di jalanan yang licin itu.

Air menetes-netes dari ujung kerah kemejanya, merembes membasahi seluruh tubuhnya. Dingin dan lembab. Sepatunya yang robek berkecipak seolah merengek setiap kali dia menginjak trotoar yang licin.

Joe menyesali jaketnya. Seharusnya dia membeli yang baru.

Dia teringat telepon dari ibunya kemarin sore dalam perjalanan ke Angelika, selepas bertemu Profesor Murphy.

Suara Mom terdengar lambat dan kosong. "Joe, kau baik-baik saja?"

"Ya, Mom," jawab Joe. Mom jarang menelepon sore-sore seperti itu. "Ada perlu apa mendadak menelepon?"

"Tidak apa-apa," kata Mom, tapi suaranya terdengar sedih. "Bagaimana dengan kartu itu? Kau sudah menemukan cara menggunakannya?"

"Belum. Kartu itu tidak bisa digunakan."

"Aku punya berita buruk," kata Mom lambat-lambat. "Dad terserang stroke..."

Tubuh Joe langsung mati rasa. "Dad kenapa?"

"Stroke..." Mom mulai terisak. "Kemarin saat ayahmu sedang menjalankan traktor, Mike McGovern yang kurang ajar itu mengejeknya. Katanya, 'Anakmu seorang milyuner dan kau masih membajak sawah!' Aku mendengarnya dari lumbung. Ayahmu turun dari traktornya dan berusaha mengejar pria itu. Tapi dia terjatuh. Aku tak tahu dia jatuh. Kupikir dia pergi ke rumah Mike. Karena dia belum muncul sampai sore, kami memutuskan mencarinya di seluruh perkebunan. Kami menemukannya terbujur seperti patung di samping traktor yang masih menyala. Untunglah mesin itu tidak menggilasnya..."

Lidah Joe kelu. Dia tak bisa berkata-kata. Mendadak dia merasa ingin kembali ke Checotah. "Apa sudah dibawa ke rumah sakit? Apa kata Dokter Wilson?"

"Dad sudah sadar," kata Mom, berusaha berhenti terisak. "Hanya saja, dia... tak bisa kembali normal lagi."

"Stroke bisa disembuhkan, Mom. Aku pernah membaca soal itu."

"Ketika dia terjatuh..." Mom melanjutkan. Dia terdengar pedih. "Kepalanya terbentur sisi traktor. Ada saraf di kepalanya yang rusak berat. Ayahmu bisa lumpuh total."

Tidak. Tidak mungkin.

"Joe? Kau masih di situ?"

Mata Joe panas dan berat. Dad tidak mungkin lumpuh! Ini mimpi buruk! "Apa yang harus kita lakukan untuk Dad, Mom?"

"Harus dioperasi. Biayanya lima puluh ribu dolar. Jika kita menggadaikan rumah..."

"Tidak!" kata Joe. Dia ngeri membayangkan usul itu. "Jangan gadai apa pun! Aku akan mendapatkan uang itu, Mom. Dad akan baik-baik saja."

"Paman Bernard dan aku sudah membicarakan hal ini. Kami sudah terlalu tua untuk mengelola rumah dan perkebunan ini. Menjual rumah tak akan berakibat buruk, Joe. Kita masih punya perkebunan dan—"

Hanya sejauh itu yang bisa didengarnya. Seseorang menabrak Joe dengan keras sehingga dia jatuh. Kemudian seorang pria kurus mendorongnya ke lantai dan mencoba merebut ponselnya.

Meski syok karena diserang tiba-tiba, Joe menggeliat bangun dan mengayunkan tinjunya ke arah penjambret itu. Jambret adalah hal yang lumrah di kota sebesar New York, tapi penjambret yang menyerang Joe rupanya bukan amatiran. Dia mengelak dengan gesit dan mencoba memukul pundak Joe.

The Rich & The Lucky One [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang