11. London

4.3K 761 12
                                    


Jennifer Huxley menggigil kedinginan di bagian depan ruang tunggu Bandara Heathrow, London. Satu tangannya menarik tungkai koper beroda dan satunya lagi meremas kantong muntah.

Seorang petugas pengantar troli menegurnya. "Anda baik-baik saja Ma'am?"

Aku dibangunkan jam dua pagi oleh produserku dan terbang dengan guncangan dahsyat selamat tujuh jam di atas Atlantik menuju negeri es. Jet lag-ku belum hilang ketika aku dipaksa harus pindah lagi ke negara lain dan muntah-muntah sebanyak delapan kali dalam penerbangan kedua.

"Ya, aku baik-baik saja."

"Anda yakin?"

Pergilah sebelum aku memuntahimu. "Ya."

Petugas itu menatap Jen dengan pandangan iba sebelum akhirnya mendorong lusinan troli itu kembali ke tempatnya. Jen bersandar di sebuah pilar untuk menenangkan diri. Udara sangat dingin, angin London yang menusuk mengembusi tubuh Jen yang gemetar. Wanita itu mengumpat dan bersembunyi di balik pilar. Tangannya yang kaku susah payah mengancingkan mantel tipisnya. Dia mengecek jam tangannya. Sekarang masih jam lima pagi di New York.

Terkutuk kau, Marty Silbermann!

Jen mencabut lengannya yang terlipat di dada untuk mengambil nomor antrean taksi. Dia tidak menyiapkan pakaian hangat yang cukup karena Marty membangunkannya tiga puluh menit sebelum waktu keberangkatan. Jen mengira dia bakal punya waktu untuk membeli pakaian di Paris, tetapi dia keliru. Sepanjang harinya dihabiskan untuk meliput dan mengedit berita. Juru kamera lokal yang disewa NYT sama sekali tidak membantu. Malamnya Jen sudah harus terbang lagi ke London karena objek beritanya memutuskan untuk jalan-jalan ke sana.

Jen mengutuki kecepatan Violetta Adams berpindah negara. Mengikuti gadis itu membuat Jen merasa sangat renta dan lemah. Violetta Adams bergerak seolah dia sedang diincar Interpol!

Sambil menyemangati tubuhnya yang menggigil untuk tidak pingsan kedinginan di antrean, Jen kembali mengutuki Marty Silbermann. Pria itu memang seorang produser yang berintegritas. Tapi bukan berarti dia bisa membangunkan orang lain jam dua pagi dan mengirimnya begitu saja ke benua lain hanya bermodalkan mantel dan dua potong pakaian dalam.

Akan kutonjok dia begitu semua huru-hara ini selesai! Lihat saja!

Antrean itu bergerak lambat. Jen tergoda untuk membeli kopi, tapi dia tidak sudi meninggalkan antrean. Setelah sepuluh menit yang terasa seperti sepuluh juta tahun cahaya, akhirnya giliran Jen tiba. Sebuah taksi hitam berhenti di depan Jen.

"Selamat pagi, Ma'am," sapa sopirnya, seorang pria gemuk dalam jaket parka musim dingin yang kelihatan hangat. Jen mengangguk padanya dan segera masuk ke dalam taksi. Pemanasnya sudah dinyalakan dan kabin penumpang terasa hangat.

"Kita akan ke mana?" tanya si sopir.

Jen sedang sibuk bersyukur karena kini sudah berada di ruang yang lebih hangat. Dia terkejut ketika ditanyai pertanyaan itu oleh si sopir.

"Ke mana?"

"Ya." Sopir itu menatap Jen lewat spion tengah. "Anda belum menyebutkan tujuannya."

"Tujuan?"

"Anda ingin menuju ke suatu hotel atau mengunjungi kerabat? Atau mungkin ke tempat-tempat wisata?"

"Tidak. Tunggu!" Jen mencabut ponselnya dengan panik dari balik saku. Brengsek! Dia mulai mencari-cari nomor Marty Silbermann di buku telepon. Brengsek kau Marty! Betul-betul brengsek! Jen mendapatkan nomor Silbermann tertera di paling atas daftar missed call dan memencet tombol Panggil keras-keras hingga terdengar bunyi keretak dari ponselnya.

Suara rekaman si nona operator menyahutnya. "Anda akan melakukan panggilan internasional ke New York..."

"Ya, ya! Aku sudah tahu!" bentak Jen pada ponselnya. Dia memencet lagi tombol Panggil. Sekarang bukan saatnya memedulikan tagihan telepon. Biar nanti kusuruh kantor yang membayar tagihan itu.

"Halo. Kau menelepon Marty Silbermann. Silakan tinggalkan—"

"SIALAN KAU, MARTY!" sembur Jen parau. "Kau mengirimku ke London tanpa memberitahu ke mana aku harus pergi! Angkat teleponnya bedebah busuk atau kau betul-betul dalam masalah begitu aku kembali dari sini!"

Terdengar bunyi bip panjang dan sambungan itu terputus.

Dia enak-enakkan tidur di sana sementara aku mati membeku di sini! "Brengsek!"

Jen kembali ke daftar kontaknya dan menyusuri nama-nama yang bisa dimintai bantuan. Si sopir taksi melirik Jen lagi lewat spion tengah dan diam-diam menyalakan argometer.

Jen berhenti di satu nama. Mudah-mudahan dia bisa membantu.

"Halo?"

"Kau menghubungi ponsel Terence Adler. Maaf aku tidak bisa—"

Sama saja. Jen mematikan panggilan itu dan menjatuhkan ponselnya ke dalam saku. Dia mengembuskan napas. Inilah aku, sendirian di London tanpa tahu akan ke mana!

"Jadi?" desak si sopir.

Jen mendesah dan melempar ponselnya ke dalam tas. Oke. Berpikir, Jen. Saatnya memakai otak jurnalismu. Jika kau seorang Violetta Adams, ke mana kau akan pergi di London ini?

Butik. 

Ya, itu jawaban yang paling masuk akal. Tapi butik yang mana? Ada ratusan butik pakaian mewah di London. Atau salon kecantikan. Itu juga sama sajaJen butuh jawaban yang lebih spesifik.

Akhirnya Jen menyerah. Dia menatap balik si sopir taksi yang masih menunggu dengan gusar. "Anda tahu di mana Violetta Adams menginap? Saya dengar dia sedang berada di sini, di London."

"Violetta Adams?"

"Iya, si gadis satu milyar dolar itu, lho."

"Tentu saja!" Si sopir taksi menyeringai sambil memukul setir. "Dia menginap di The Dorchester. Mengapa Anda tidak tanya dari tadi?"

Jen mendadak mual lagi.

The Rich & The Lucky One [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang