22. Akhir Minggu

3.5K 684 19
                                    


Bruce Stockholm selesai mengecek kompas. Dia sedang berada di kabin depan kapal pesiar baru Violetta Adams yang dinamai Mademoiselle Adams. Dengan cerdik Bruce menyamar sebagai salah seorang anak buah kapal dan berhasil menyelinap masuk.

Mereka sedang melempar sauh di pantai Los Angeles. Di dek atas, Violetta Adams sedang menikmati makan makan romantis dengan seorang aktor muda yang sebetulnya enggan datang ke acara itu.

Bruce mengecek arlojinya. Dia harus melapor ke New York.

Bruce mengetuk tiga kali chip multifungsi yang tertanam di bagian belakang telinganya. Dalam sepersekian milidetik, chip itu segera mengirimkan sinyal untuk menghubungi sebuah saluran khusus di Krust Towers. 

Pemandangan ruang kerja Mr. Krust muncul di mata Bruce secara virtual. "Laporan terbaru untuk Anda, Sir."

"Bagaimana?" tanya sang Penyihir ingin tahu.

"Target aman. Muncul lagi beberapa upaya kecil untuk mencelakainya, tetapi gagal dengan sendirinya. Dia bergerak cepat sekali. Saya saja terkadang masih kesulitan untuk mendekatinya."

"Bagaimana dengan si pelayan?"

Bruce mengingat-ingat. "Dia juga aman. Dia masih mengawasi target secara pribadi."

"Bagaimana dengan kartunya?"

"Masih ada," ingat Bruce segera. "Si pelayan masih memegangnya."

Mr. Krust diam sejenak. Dahinya berkerut.

"Ada yang salah, Sir?"

"Tidak. Hanya saja..." Mr. Krust menggeleng ragu-ragu. "Apa Miss Adams sudah meminta kartu itu kembali?"

"Tidak. Target masih mempercayakan kartu itu pada si pelayan karena masih ada beberapa urusan yang harus diselesaikan dengan uang di kartu itu."

Mr. Krust diam lagi. Bruce tahu bosnya sedang berpikir serius. "Kapan mereka berencana akan kembali ke darat?"

"Besok pagi. Setelah itu dia akan langsung ke New York. Uangnya sudah hampir habis."

Mr. Krust menatap Bruce lekat-lekat. "Kerja bagus, Bruce. Awasi terus!"

"Baik, Sir."

Sambungan itu terputus.

Sebuah ombak kecil memukul perahu itu, membuatnya oleng sedikit ke kiri.

"HEI!" Seseorang berterik marah dari dek atas. "KAU BISA MENGEMUDIKAN KAPAL ATAU TIDAK?" Lalu kikik kecil dan kata-kata manis merengek, "Maaf Chris. Kapalnya oleng. Aku tidak bermaksud untuk jatuh di pangkuanmu."


...


Langit bergemuruh di luar, pertanda akan hujan lagi.

Joe masuk kembali ke dalam gudang. Dia, Andrea dan Artie sedang bersembunyi di sana. Itu adalah gudang perkakas tua milik Krust Corporation yang sudah tak lagi dipakai, letaknya di Brooklyn. Menurut Artie, mereka akan cukup aman bersembunyi di situ karena polisi tak akan berani mengusik properti milik Vincent Krust.

Andrea kembali sambil membawa beberapa kantong es. Wajahnya dibalut perban. Artie sudah mengobati luka-luka Andrea—sesuai dugaan Joe, ternyata gadis itu serba bisa. Sekarang Artie sedang menjahit sendiri luka tembak di lengannya. Dengan gagah, dia berhasil mengeluarkan peluru itu. Menonton aksi sang agen bikin Joe mual.

Andrea duduk di kursi dan mengambil remote televisi.

"Tidak sekarang!" Artie menyambar remote itu dan melemparkannya ke kolong kursi. "Joe perlu berpikir. Sebagai teman kau seharusnya membantunya!"

Andrea duduk melesak di kursi dengan wajah cemberut. "Joe, kau perlu sesuatu?"

Tidak seharusnya mereka cemas begitu memikirkanmu. Andrea sendiri sudah terluka cukup parah. Joe mengusap-usap wajahnya yang terasa kaku lalu menggeleng. "Tidak. Aku baik-baik saja. Kau?"

Andrea mengangguk tidak yakin.

"Bagaimana tanganmu?" tanya Joe pada Artie.

Artie mengibaskan lengannya. "Hanya luka kecil. Kau yakin baik-baik saja?"

"Ya," kata Joe berbohong. Dia perlu kacamata baru. Matanya mulai sakit dan telinganya perih sejak ledakan bom itu. Kehilangan segalanya, lalu kabur dari ledakan bom, mencuri mobil, mengacaukan sebuah proyek konstruksi bangunan, meremukkan seseorang hidup-hidup dalam truk pengantar barang, lalu bersembunyi di sebuah gudang yang hampir roboh. Sulit dipercaya bahwa semua mimpi buruk itu terjadi dalam rentang enam hari saja dalam hidup Joe.

"Aku ingin mencari udara segar," kata Joe memutuskan.

"Mau kutemani?" tanya Andrea ramah.

"Tidak. Berisitirahatlah."

Joe menyelinap pergi dan duduk di bagian belakang gudang. Angin malam yang dingin terasa mengiris kulitnya. Joe merapatkan jaket parka kebesaran yang diberikan Artie untuknya. Sepertinya si agen mencuri jaket itu entah dari mana.

Besok.

Joe lelah, kelaparan dan kebingungan. Dia perlu uang. Dia ingin pulang. Tapi dia tak bisa ke mana-mana. Setidaknya sampai lomba keparat ini berakhir.

Joe mendongak menatap langit.

Di kejauhan, huruf K raksasa di puncak Krust Towers bercahaya keemasan seperti bintang. Huruf K itu menjulang paling tinggi, membuat pencakar langit lainnya di New York terlihat seperti mainan.

Di puncaknya, Vincent Krust mungkin sedang duduk menunggu dengan cemas apa yang sudah kulakukan dengan kartu ini... Joe mengeluarkan kartu itu dan memutar-mutarnya. Tidak boleh dipakai membeli. Lalu harus diapakan?

Joe menatap telapak tangannya lama-lama. Beberapa warna cat menempel di ujung-ujung jarinya sisa dari kelas Melukis tadi pagi. Dipandangi jari-jarinya itu hingga pandangannya mengabur.

Tiba-tiba Joe terlonjak. Kartu itu tergelincir jatuh dari lututnya.

Ide itu menyelinap masuk ke dalam kepalanya seperti pencuri. Dia tahu apa yang akan dilakukannya dengan kartu itu. 

Joe memungut kartu itu dan bergegas masuk ke dalam. Dia tidak perlu dua milyar dolar karena dia tak akan kalah dalam kompetisi ini.

Mungkin.

The Rich & The Lucky One [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang