Satu minggu sudah berlalu.
New York jadi semakin berangin. Rupanya kota itu sedang mempersiapkan diri menuju musim dingin yang akan datang tak lama lagi di bulan Desember. Orang-orang malas keluar rumah, sebagian besar masih terkenang akan cuaca musim gugur bulan September yang menyenangkan. Meski demikian banyak juga yang berharap musim dingin segera datang bersamaan dengan Natal.
Joe merapatkan mantel yang dipinjamnya sambil berusaha menahan terpaan angin. Beberapa orang yang berpapasan dengannya tersenyum, ada juga yang menunjuk-nunjuk.
Sudah selesai.
Joe melewati beberapa toko dan kios hingga akhirnya membelok di tikungan jalan. Sejenak dia tergoda untuk membeli es krim tapi dia hanya punya sedikit uang pinjaman dari Andrea untuk membayar tiket kereta. Dia mengurungkan niat itu dan melanjutkan perjalanan.
Kereta sore itu tidak padat. Jelas tidak ada orang yang mau bepergian di cuaca sedingin ini. Hanya ada seorang gadis berkulit hitam yang sedang mendengarkan musik, seorang pria berjaket jins yang sedang menelepon dan seorang wanita yang berangkat kerja. Wanita itu menoleh ketika Joe masuk. Ekspresinya memberitahu Joe kalau si wanita mengenalnya. Joe bergegas menyelinap ke ujung gerbong dan duduk rendah.
Aku bukan siapa-siapa lagi.
Dia lega karena akhirnya ini berakhir. Banyak yang mengatakan Joe lebih beruntung dari Violetta Adams, itu betul. Lukisannya laku terlelang, tapi dia tak akan sempat memiliki uang itu, karena dia harus mengembalikan satu milyar itu pada Vincent Krust.
Mau bagaimana lagi...
Joe menunduk dan mencoba menikmati perjalanan. Di stasiun kedua, dia berpindah kereta menuju Stillwell Avenue. Dari situ Joe melanjutkan dengan berjalan kaki. Jarak tempat yang ditujunya tidak jauh dari perhentian kereta bawah tanah ini, hanya satu blok.
Perjalanannya kali ini singkat, kurang dari lima puluh menit. Joe ingat awalnya dia begitu kebingungan dengan jalur kereta bawah tanah New York. Di Checotah tak ada kereta bawah tanah. Dulu dia sering salah turun stasiun, tapi itu memang risiko jika naik kereta bawah tanah. Kau bisa berpindah dari ujung Utara New York ke ujung paling Selatan bahkan tanpa kau sadari.
Joe turun di Stasiun Rockefeller Center dan naik tangga hingga tiba di Sixth Avenue.
Dia baru melangkah ketika sesosok gadis berambut pirang sebahu menyeberang di depannya. Gadis itu mengenakan mantel panjang berwarna biru cerah dan sepatu bot bertumit tinggi. Tangan kanannya memengang sebuah tas kertas kecil. Dia melambaikan tangan hendak menghentikan taksi.
Sejumput rambut di bagian tengkuk gadis itu membuat Joe tertegun. Bagian itu sedikit berbeda. Mata Joe yang cukup sensitif dengan perbedaan warna langsung menangkap hal itu.
Merah anggur.
"Artie?"
Gadis itu menoleh. Sesaat dia tampak bingung karena disapa orang asing.
"Sekarang namaku Samantha Robb," jawab gadis itu. Dia nyengir lebar.
Joe mengembus lega. Ternyata aku tidak salah orang. "Ada sedikit rambut yang belum dilapisi cat di bagian belakang."
Gadis berhenti melambai dan menghampiri Joe. "Aku buru-buru mengecat. Seharusnya aku pakai rambut palsu." Dia mengacak bagian belakang rambut pirangnya dengan canggung. "Bagaimana kabarmu?"
"Lumayan," kata Joe. "Kau tidak sedang tugas, kan?"
"Tidak, aku sedang cuti." Artie tertawa. "Mr. Krust memberiku cuti dua kali lebih lama karena dia mengganggu liburanku dua minggu lalu untuk tugas mengawasimu." Dia memandangi Joe seolah memindainya seperti pertama kali mereka berjumpa. "Kau mau ke mana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Rich & The Lucky One [End]
Narrativa generaleMenghabiskan satu milyar dolar dalam seminggu? Ah, itu sih gampang! Semua orang berpikir begitu setelah menonton pengumuman akbar yang dilakukan Vincent Krust - sang megamilyuner terkaya di dunia. Krust mengadakan pengundian massal yang menyertakan...