Chapter 8

8 2 0
                                    

"Dirumah sakit mana kak ?" Tanya Farhan kaget sambil membereskan mejanya.
"Oke. Aku kesana sekarang."

Akhirnya Farhan sampai dirumah sakit begitupun papahnya. Hanya Mira, Doni, dan Rio yang tidak hadir disana. Tampak diwajah suami Fatimah kepanikan, handphone ditangan kanan dipukulkan ketangan kiri dan berjalan mondar mandir dengan rasa gelisah. Lolita yang melihat hal itu sangat heran. Pikirnya, Farhan seperti sungguh-sungguh mencintai Fatimah, sedangkan pak Wijaya menyunggingkan senyum melihat anak laki-lakinya.

"Kok bisa Fatimah pingsan ?" Tanya Farhan yang baru angkat bicara.

"Nggak tahu, orang dari tadi aku nyantai aja kok habis dia pijitin aku." Lolita terbelalak menyadari apa yang baru saja ia ucapkan.
Eh... kecoplosan. Gumamnya.

Istri pak Wijaya memasang wajah pura-pura tidak tahu saat Farhan melirik kesebelah Lolita.

Cklek...

"Bagaimana Dok ?" Tanya Farhan panik.

"Ibu Fatimah kecapek-an. Dia hanya butuh istirahat. Mengenai janin yang ada diperutnya alhamdulillah baik-baik saja.

"Janin ???" Tanya Farhan heran sembari tersenyum. Begitupun dengan anggota keluarga yang lain.
Lolita dan mamahnya senang karena tidak lama lagi mereka akan mendapatkan harta warisan.

"Loh, bapak tidak tahu kalau ibu Fatimah sedang mengandung ?" Farhan hanya menggeleng.

***

"Abi, telepon ummi Fatimah lagi yah." Rengek Aliyah.

"Iya."

Ayah dan ibu Afnan yang tidak sengaja mendengar rengekan Aliyah heran. Kemudian ikut duduk bersama mereka.

"Siapa ummi Fatimah ?" Tanya nenek Aliyah.

"Umminya Aliyah nek. Dia cantik. Mata dan alis ummi Fatimah kembar banget sama Aliyah."

Ibu dan ayah Afnan saling bertatapan mendengar jawaban cucunya, sedangkan Afnan menjadi penasaran.
Kemudian Aliyah merekatkan handphone ketelinganya. Sampai tiga kali Fatimah tidak kunjung mengangkat teleponnya dan membuat gadis imut ini cemberut.

"Sayang, mungkin ummi Fatimah lagi sibuk." Hibur kakeknya.

"Dari tadi nggak aktif terus." Sambil memanyunkan bibirnya.

Triit...triit...
Aliyah melirik handphone yang dipegang, seketika wajahnya berubah.

"Ummi Fatimah nelfon. Assalamu'alaikum umi." Kata Aliyah kegirangan. Afnan dan kedua orangtuanya hanya tersenyum melihat tingkah gadis imut itu.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah anak cantik. Afwan ya tadi ummi nggak angkat telepon Aliyah, nggak dengar soalnya."

"Nggak apa-apa ummi. Emm... Ummi lagi apa ?"

"Lagi teleponan sama anak cantik."

"Hihi ummi. Besok kita ketemu yah."

"Boleh. Dimana ?"

"Ditaman yang kemarin. Jam 10 ya ummi. Kalau gitu Aliyah tutup teleponnya ya. Wassalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam warahmatullah sayang."

Mereka semua tersenyum sedangkan Afnan seperti berpikir.
Suara itu... gumamnya.

***

Fatimah tersenyum melihat ponsel yang digenggam. Berbeda dengan Farhan, seperti tidak suka melihat tingkah istrinya.

"Telpon siapa ?" Ketus Farhan yang dari tadi bersandar dipintu kamar mandi.

"Bukan siapa-siapa." Masih kesal dengan suaminya.

"Aku nggak suka ya kamu teleponan sama orang pakai sayang-sayang." Kemudian ikut duduk diatas tempat tidur.

"Ini anak kecil."

"Oh kirain." Katanya malu.

"Fatimah." Yang dipanggil lantas memilih.
"Mulai sekarang kamu harus banyak istirahat, jaga kandungan kamu."

"Apa !!!" Fatimah bingung dengan perasaannya. Ada rasa senang karena sebentar lagi dia akan menjadi seorang ibu tapi apakah dia bisa merawat bayinya sampai ia dewasa. Mengingat Farhan yang akan menceraikannya membuatnya menangis.

"Setiap jam makan siang aku bakal pulang liat kondisi kamu."
"Terus, kenapa nangis ?" Tambah Farhan.

"Aku nggak mau." Sambil memegang perutnya.

"Maksud kamu apa ?" Sedikit meninggikan nada suaranya.

"Aku nggak mau pisah dengan anakku."

"Kamu nggak akan pisah. Setelah anak aku lahir kita nggak akan cerai. Kita berdua yang akan merawat dia sampai berusia dua tahun." Kata Farhan enteng.

"Setelah itu?" Fatimah penasaran.

"Yah, nggak tahu. Udah kamu tidur, aku juga ngantuk."

Fatimah beranjak dari tempat tidurnya dan mulai menulis sesuatu.
Sebenarnya Farhan sudah mulai mencintai istrinya tapi terhalang oleh rasa gengsi yang besar. Terkadang rasa gengsi harus dilenyapkan untuk meraih  kebahagiaan yang seharusnya.

***
Lima bulan kemudian...

22 Desember 2018

Dear diary

Diary...
Usia kandungan aku sudah lima bulan, senang sih. Allah mau memberikan aku kesempatan untuk menjadi seorang ibu. Aku bersyukur selama hamil nggak pernah mual ataupun pusing, cuma suka ngidam minta inilah itulah sama Farhan.
Oh ya diary...
Semenjak aku hamil, Farhan mulai perhatian dan selalu khawatir dengan kesehatanku. Meskipun aku tahu yang dia lakukan itu untuk bayi yang aku kandung. Aku nggak tahu diary gimana nasib aku setelah anakku lahir. Yang pasti aku nggak ridho kalau kami sampai pisah.
Mungkin... aku akan bawa anakku pergi jauh setelah dia lahir.

Fatimah


Lama nggak muncul akhirnya bisa update juga. Jujur kalau bukan karena dipaksa temen tadi aku malas lanjutin ke chapter ini loh.

PERJUANGAN DAN TAKDIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang