Chapter O1.

67.2K 448 12
                                    

Gadis bersurai coklat dengan sentuhan gelombang yang makin mempercantik dirinya, kini tengah duduk gelisah di ruang makan. Makan malamnya seolah tak tenang, hatinya sedang gelisah dan ragu-ragu untuk mengungkapkan niatnya pada seorang pria di hadapannya saat ini. Merasakan kegelisahan yang nampak jelas dari sang puan, membuat pria itu mengernyitkan dahinya heran.

"Ada apa, sayang?"

Teguran itu membuat sang gadis sedikit terkejut dari kegelisahannya. Ia menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan, mengumpulkan keberanian untuk memberi tahu isi hatinya.

"Uhm, anu Daddy."

Gadis itu berhenti sejenak. Sembari menautkan jari-jarinya yang ia letakan dipangkuannya, gugup.

"Mrs. Freya memuji kemampuan belajarku yang kian meningkat, nilai-nilaiku selalu stabil Daddy. Ia juga berkata, seharusnya aku mencoba untuk bersekolah di sekolah umum agar dapat bersaing dengan anak-anak yang lain,"

"Cukup, Mourine." Suara yang terdengar tegas itu menyela perkataan si gadis yang belum selesai.

Namun, seolah tak peka Mourine masih melanjutkan keinginannya untuk bersekolah di sekolah umum.

"Tapi, Daddy. Aku tidak lagi harus homeschooling, aku ingin belajar bersama di sekolah umum, Dad."

Brakkk!

"Daddy bilang cukup, Mourine!"

Bentakan nyaring disertai dengan gebrakan meja itu berhasil membungkam sang gadis yang tengah asik mengungkapkan keinginan hatinya. Perasaan takut itu tiba-tiba menghinggapi hati dan pikirannya. Ia takut karena telah membuat pria itu marah. Yang dapat ia lalukan kini hanyalah menundukan kepalanya takut, dan berusaha untuk menahan air matanya yang ingin keluar.

"Selesaikan makanmu, lalu kembali ke kamar."

Mourine mengangguk kecil, lalu melanjutkan makan malamnya seperti yang diperintahkan oleh Daddynya itu. Selera makannya sudah hilang begitu saja, namun masih harus terpaksa menghabiskan makanannya. Canggung adalah kata yang cukup menggambarkan suasana ruang makan saat ini. Tak satupun yang bicara di antara mereka, hanyalah suara dentingan garpu dan sendok yang beradu dengan piring.

Setelah selesai makan, buru-buru gadis itu pergi ke kamarnya setelah mendapat izin dari Edgar. Tak lupa ia mengunci pintu kamarnya, kemudian menjatuhkan dirinya ke atas ranjang yang empuk. Tanpa bisa ia tahan lagi, air matanya mengalir tanpa izin darinya. Sudah cukup daritadi ia menahannya, kini ia membiarkan air matanya mengalir membentuk sungai kecil di kedua sisi wajahnya. Namun ia berusaha agar suara tangisannya tak pecah, membuat Edgar mengetahuinya.

"Kenapa Daddy harus memukul meja itu dengan keras dan membentakku?" Tanyanya kepada dirinya sendiri. "Aku hanya ingin bersekolah layaknya anak-anak yang lain, aku bosan, aku kesepian hanya berdiam diri di rumah tanpa menginjakkan kaki ku keluar."

Mourine masih betah menangisi keadaannya yang menurutnya cukup menyedihkan. Bagaimana tidak? Dari dulu ia tidak bisa merasakan kehidupan normal seperti anak-anak sebayanya. Dulu hingga sekarang ia menjalani homeschooling, maka saat ini gadis itu sangat ingin merasakan bagaimana rasanya bersekolah di sekolah umum. Juga, Mourine selalu dilarang keras untuk berpergian keluar rumah sendirian tanpa Edgar di sampingnya. Bisa dibilang, Mourine keluar rumah adalah hal yang langka.

Dilain sisi, Edgar belum beranjak dari ruang makan. Pria itu sedang merenungi kejadian yang baru saja terjadi. Ia tak bermaksud untuk membentak gadis kecilnya dan membuat ia ketakutan. Hatinya diliputi perasaan yang amat bersalah, dirinya sangatlah jarang membentak Mourine. Bahkan dapat dibilang Edgar sama sekali tak pernah berprilaku kasar pada gadis itu.

Namun mendengar keinginan Mourine untuk bersekolah di tempat umum membuatnya tak dapat menahan emosinya. Dirinya dan ke posesifannya membuat ia tak mampu melepas Mourine tanpa pengawasan darinya.

Setelah 30 menit berlalu,

Ditengah-tengah acara menangisnya, seseorang mengetuk pintu kamarnya. Mourine tahu itu adalah Daddynya, dengan cepat sang gadis menghapus jejak air mata yang tertinggal di wajahnya. Ia beranjak dari ranjang dan membuka pintu kamarnya, keduanya saling diam di ambang pintu. Edgar menyadari mata gadis kecilnya yang sedikit bengkak, kemudian ia mengusap wajah sang gadis lembut.

"Menangis, hm?"

Edgar bertanya masih sembari mengelus pipi Mourine lembut. Pertanyaan lembut itu hanya dijawab dengan anggukan kepala oleh sang puan.

"Daddy membuat mu takut, Princess?"

Lagi-lagi gadis itu tak mampu mengeluarkan suaranya, ia hanya dapat menanggapi pertanyaan itu dengan anggukan kecil. Tiba-tiba tangan besar itu membawanya kedalam pelukan hangat sang pria. Usapan lembut dikepalanya membuat Mourine kembali menangis.

"Maaf, Daddy hanya tak siap melepas mu di luar sana tanpa pengawasan."

Gadis itu hanya mendengarkan tanpa menanggapi, bahkan ia tak mampu membalas pelukan hangat dari pria itu.

"Daddy mengizinkan mu."

Sontak pernyataan itu membuat Mourine mendongakan kepalanya, menatap Edgar tak percaya. Tatapannya seolah bertanya apakah pria itu sungguh-sungguh dengan perkataannya barusan.

"Tapi dengan beberapa peraturan yang harus dituruti, kita akan membahasnya besok. Sekarang tidurlah, kau pasti lelah sehabis menangis."

Mourine mengangguk dengan semangat. Gadis itu bergegas menuju ranjangnya lalu merebahkan diri. Edgar menyusulnya, pria itu kemudian menarik selimut untuk menyelimuti gadis kecilnya. Senyuman terukir diwajahnya membuat ia semakin cantik.

"Selamat tidur, sayang."

Edgar juga ikut tersenyum, lalu ia menundukan kepalanya guna meraih bibir mungil itu. Menempelkan bibirnya dengan nyaman disana, melumat bibir mungil itu sejenak lalu melepasnya.

"Uhm, i love you Daddy."

"I love you too, Princess."

Edgar beranjak dari kamar sang gadis sesaat setelah menghadiahi dahinya sebuah kecupan manis.

-to be continue-

The DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang