Departure 1.0

1.1K 70 17
                                    

Dalam kamus hidup Chandawa, ada yang namanya presensi tidak utuh. Tentang kedatangan seseorang yang kembali menyapa setelah sekian waktu harus bersisian dengan jarak dan mencari jarak. Tentang kedatangan yang rasanya tidak pernah sama lagi karena satu atau dua alasan.

Dan dalam kamusnya hari ini, presensi yang dimaksud adalah sebuah pertemuan yang tidak disengaja.

Atau malah semesta yang sengaja mempertemukan.

"Chan?"

Padahal sudah Chandawa pikirkan matang-matang soal bagaimana caranya untuk tidak menyapa perempuan bersurai hitam sebatas tumpuan pundak itu, namun perhitungannya sedikit kurang tepat karena sang perempuan lebih dulu mengenali postur Chandawa, bahkan sebelum Chandawa benar-benar sempat melangkahkan kaki di antara antrian pengunjung.

Kalau sudah begini, Chandawa hanya bisa mengulas senyum ternormal yang ia punya. Sisi dirinya berusaha menyembunyikan segala canggung, mungkin sama halnya dengan perempuan itu.

"Oh, hai? Kamu di sini juga?" Merasa kaku dengan pertanyaannya, netra Chandawa mengedar sedikit ke sekitar, mencari alasan yang lebih bagus pada dunia yang seakan berhenti berputar. "Eh, maksudnya, lagi apa? Udah pesen?"

Perempuan dengan jaket sewarna pasir putih tersebut membalas senyum kikuk, tidak urung mengangguk kecil sebagai balas.

Chandawa tidak paham, sebetulanya, mana yang diiyakan oleh humani ini, mengingat semua kalimat yang diutarakannya hanyalah sebatas tanya. Tetapi, Chandawa tidak mau repot-repot berpikir terlalu panjang.

Kendati Chandawa tahu, bahwa memang begitulah kebiasaan sang perempuan jika dihadapkan dengan pertanyaan yang menurutnya sulit, Chandawa sudah hafal sampai di luar kepala.

"Kamu ... sendirian?"

"Apanya, nih? Posisinya atauㅡ"

"Posisi. Kamu di sini sendirian?"

Chandawa tersenyum, lalu mengangguk, sementara tangan kanannya mengeluarkan selembar kertas bill dari dalam saku mantel. "Percaya, kan?"

Terkikik. Sang perempuan terkikik kecil, kepalanya tertunduk malu, membuat anak rambutnya yang dijepit asal terlepas helai demi helai, mengayun pelan sebelum sempurna betul menutup area dahi.

Chandawa sendiri memperhatikan, bukan untuk mencari apa-apa, namun hanya demi mendapat keberanian dari mana saja untuk mengembalikan esensi tanya yang sama.

Walaupun lengang tanpa suara mendukung, walau nomor antrian besar dalam genggaman masih jauh untuk segera maju, walau pendulum raksasa di sisi dinding si barista terasa bergerak lambat, sekalipun napas gugup Chandawa berembus panjang dan beradu dengan dinginnya udara pagi itu, tetap saja ia sendiri yakin, jika sang perempuan memiliki keberanian yang entah ada berapa persen lebih tinggi dari miliknya.

"Kamu, gimana? Sendirian?"

Karena mungkin saja, hati kecil Chandawa merasa tidak sanggup jika akhirnya sang perempuan menjawab ada.

"Nggak," sang perempuan menggeleng kecil, membuat Chandawa mengangkat kepalanya sedikit menjelaskan pandangan.

"Nggak?"

"Nggak sendirian, maksud aku."

"Oh."

"Ada di luar, lagi nunggu. Kamu mau ketemu?"

Chandawa mengerutkan kening, belum sempat membantah, sang perempuan lebih dulu mengibaskan tangannya seraya mengambil satu langkah maju terbawa gelombang antrian.

Begitu juga Chandawa di tempatnya.

"Bercanda, Chan."

"Mananya yang bercanda?"

"Pas aku nawarin kamu ketemu dia."

"Tapi dia beneran ada?"

"Ada."

Dengan itu Chandawa belajar untuk selesai memikirkan segala tentang masa lalu, belajar untuk berhenti berharap agar ruang kosong antara dirinya dan diri yang masih diharapkannya kembali seperti dulu. Seperti saat keduanya masih merasa sanggup untuk satu sama lain.

Dan acara jumpa tidak sengaja yang membawa presensi tidak utuh pagi itu benar-benar menyisakan banyak serpihan untuk Chandawa, terlebih dari bagaimana cara sang perempuan mengucap pamit, dari cara sang perempuan merapatkan jaketnya di ujung selasar, atau bahkan dari cara sang perempuan menyapa humani lain yang katanya sedang menunggu.

"Duluan ya, Chan."

Lantas dalam hitungan sekon, hilang dalam imaji. Pergi dari pandangan.

Meninggalkan Chandawa dengan jemarinya yang mengerat pada lingkar gelas karton, sinar mentari pagi yang hangat terang-terangan menyapu deretan sekat kaca, serta napas yang terembus beserta senyum tipis yang timbul sempurna setelahnya.

Chandawa seutuhnya sudah mengerti dengan keadaan, namun sejujurnya malah ia yang tidak bisa menjawab ada.

***

Chandawa Hastaman,Keberangkatan membuatnya sadar jika memiliki bukanlah titik akhirnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Chandawa Hastaman,
Keberangkatan membuatnya sadar jika memiliki bukanlah titik akhirnya.

***

Hi! Kaget gak, ini Golcha lokal hAHAHAHAHA.

Awalnya bukan lokal sih, tapi karena satu, dua hal dan dari segi pertimbangan ini itu jadilah ini buku Golcha lokal kedua aku.

Oke itu aja, I hope y'all enjoy here for my new works! Jangan lupa tonton music videonya Chan yang baru!

See ya!

Golden DepartureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang