Banyak hal terjadi di luar kendali manusia sering kali membuat mereka menjadi benci terhadap suatu hal. Mau disengaja atau tidak disengaja.
Ada kalanya perasaan itu datang dan pergi seiring lalu-lalang orang-orang dalam hidup, ada yang hilang begitu saja, ada yang membekas meski sedikit, ada pun yang bisa membuat benci berkepanjangan kalau masing-masing dari kita merasa tidak bisa membiarkan mereka pergi.
Setiap entitas punya pilihan untuk memilih mana yang baik mana yang buruk, mana yang ingin dipertahankan mana yang ingin dilepaskan, mana kedatangan yang diterima atau mana keberangkatan yang tidak diduga.
Semua itu layaknya sebuah roda, yang tidak bisa berhenti berputar selama manusia masih mau membuka hidupnya untuk orang lain.
Mungkin seperti kala itu, pada bulan Agustus, tepat di tanggal dua puluh dua, pukul satu siang. Di tepi lapangan yang sebagian tertutup rindang pepohonan, cahaya matahari membantu ia meneliti lebih jelas lagi barisan-barisan kata yang tercetak pada selembar kertas sertifikat, yang juga baru ia dapatkan tiga puluh menit lalu.
'Jakha Yanuar'
Katanya, dengan tulisan miring dan tebal, tepat di tengah diikuti oleh penjelasan merinci bahwa nama yang tertera telah selesai menjadi bagian dari suatu acara formal milik universitas. Maka sertifikat tersebut, lahir sebagai bukti.
Namun, napas panjang yang terembus dari pemuda itu menandakan jika ada sesuatu yang salah.
Bukan, bukan nama atau gelarnya yang tercetak salah, sama sekali bukan. Karena justru, sertifikat ini malah jelas bukan miliknya.
"Ngaco ah ini panitia." Ia menggerutu sekali lagi, sebelum akhirnya melangkah kembali ke dalam area di mana panitia acara masih banyak berlalu lalang. "Gimana nyarinya dari orang sebanyak ini?"
Berbekal niat dan air wajah kesal yang berusaha tidak ia perlihatkan, ia mencari-cari salah seorang panitia pelaksana yang tadi menyebarkan amplop-amplop cokelat berisi sertifikat padanya.
Kalau bisa, bahkan ia ingin menasehatinya sekalian.
"Eh, iya, kenapa?"
"Mas, lo kan, yang tadi nyebarin sertifikat buat kelompok rendering?"
Lelaki bertopi tersebut akhirnya berbalik, setelah merasa nada bicara lawannya ini terdengar serius. "Iya, gue. Ada apa?"
Pemuda itu menghela napas seraya menunjukkan sertifikat yang bukan miliknya tadi. "Ini bukan punya gue. Ketukar sama punya orang lain."
"Sorry, sorry. Nama lu emang harusnya siapa, ya? Bukan Jakha?"
"Cakka, Mas." Ia masih mencoba bersabar. "Cakka Yasanendra. Bukan Jakha, apalagi Yanuar."
Lelaki bertopi itu lantas meminta maaf sebanyak-banyaknya, melihat raut wajah lelah Cakka membuat ia mau tidak mau menyuruh Cakka untuk menunggu di tempat selagi ia pergi ke sana kemari mencari orang yang bersangkutan.
Tak sampai dua puluh menit, lelaki bertopi tadi kembali dengan seorang pemuda lain yang tengah membawa barang yang sama seperti dibawa oleh Cakkaㅡamplop cokelat berisi sertifikat.
"Bener, Jak, punya lu ketukar sama punya mas ini." Lelaki itu berseloroh, seraya menginstruksikan keduanya untuk bertukar sertifikat yang ada agar kembali pada pemilik yang asli.
"Pantesan kok nama gue tiba-tiba berubah, padahal perasaan di rumah nggak ada bubur merah bubur putih."
Cakka tertawa sedikit mendengar celotehan pemuda bernama Jakha ini, dari ingatannya yang lumayan buruk, Cakka tetap ingat pernah menemui wajah Jakha dua atau tiga kali jika sedang kebetulan mereka mengambil mata kuliah yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Golden Departure
FanfictionTentang kedatangan, tentang keberangkatan. Tentang jalan hidup singkat yang mungkin pernah atau akan kamu lalui. [ Golden Departure ; Golden Child's ] ©2019, Nyctoscphile All Rights Reserved.