Menjadi pendengar, mungkin terlihat mudah.
Menjadi pengamat, mungkin terdengar mudah.
Namun jika menjadi keduanya secara bersamaan dalam keadaan membingungkan?Realitanya, di situlah sang pemuda berada. Di antara rasa yang sudah tidak ia ketahui lagi seperti apa ujungnya, bagaimana akhirnya, tetapi tetap berpikir untuk terus menjalankannya.
Karena ia sudah sejauh ini.
"Van, gue ngomong sama elo ... dengerin dong."
"Iya, ini udah. Ayo, lanjut aja."
Keevan menghela napas pendek, sebelum akhirnya mengunci layar ponsel dan menyimpan benda tersebut di sisi meja. Atensinya kembali berperan sebagai pengamat, rungunya kembali berperan sebagai pendengar, serta sisi dirinya yang bertahan sebagai pertahanan kewarasan.
Lantas gadis di sampingnya kembali bercerita, tentang keinginan yang tak sampai, tentang hari-hari yang berat, tentang rencana esok untuknya sendiri dan insan lain yang tengah dijadikannya seorang pemeran utama.
Keevan mengangguk seksama, menyahut seadanya atas tanda jika ia masih mengamati. Menjawab singkat di saat gadis itu sekiranya butuh sepucuk solusi. Atau bahkan menyerahkan selembar kertas tisu serta mendaratkan usapan menenangkan pada bahu sang gadis, sewaktu-waktu ia mulai terisak dan tidak tahu harus bagaimana lagi untuk bertindak.
"Kayaknya mulai dari situ, dia jadi marah sama gue."
Keevan menggigit bibir bawahnya sesaat, sebelum membalas. "Udah berapa kali gue bilang, dia itu over. Over protective."
"Tapi dia begitu karena dia sayang gue, Van."
"Kalau dia sayang sama lo, dia nggak bakal ngelarang apa yang lo suka atau apa yang bikin lo bangga." Keevan menurunkan nada bicaranya di akhir. "Kalau dia sayang sama lo, dia harusnya bisa dukung semua yang terbaik buat lo."
Melihat anak-anak rambut sang gadis yang ikut menunduk lesu bersama isakan kecil, ada sebagian hati di sana yang ikut bergemuruh. Keinginan untuk membawa sang gadis ke dalam pelukan itu ada, dan selalu ada. Tetapi Keevan tahu hal itu bukanlah haknya, itu milik orang lain yang seharusnya ada di sisi sang gadis saat ini juga. Bukannya malah menjadi satu alasan dari jatuhnya satu keputusasaan serta kepercayaan.
Dan seandainya saja di detik ini gadis itu adalah miliknya, Keevan tidak akan segan untuk mengucap ribuan kalimat yang sukses membuat perasaan patah tersebut menjadi lebih baik. Atau mungkin sekadar mengutarakan, mau sejauh apa pun si gadis pergi bersama kesakitan, ia akan selalu ada di tempatnya sebagai peristirahatan sementara sebelum si gadis melangkah lebih jauh lagi, ia akan selalu ada di tempatnya sebagai bahu hangat atas dinginnya air mata yang butuh sedikit wadah.
Meski tidak lebih dari itu, Keevan akan selalu ada di tempatnya dan tidak akan pernah beranjak dari tempat seharusnya, selama ia belum mampu.
"Udah, ceritanya?" Tanya Keevan, sebagai finalisasi. Sebab sang gadis mulai tampak kehabisan potongan masalahnya setelah belasan menit berlalu.
"Udah."
"Masih sedih?"
"Masih, sedikit."
"Ya udah, yuk, gue anterin pulang."
"Sekarang?"
"Iya. Kopi Yuanyang dulu, mau?"
***
Keevan Naratarangga,
Kedatangan adalah orang lain, dan dirinya hanyalah sebagian kecil dari saksi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Golden Departure
FanfictionTentang kedatangan, tentang keberangkatan. Tentang jalan hidup singkat yang mungkin pernah atau akan kamu lalui. [ Golden Departure ; Golden Child's ] ©2019, Nyctoscphile All Rights Reserved.