"Dika?"
"Kenapa? Mau tanya Dika pulang atau enggak?"
Panggilan telepon jauh yang tidak sampai menginjak enam detik tersebut telah selesaiㅡatau dalam kata lain, diselesaikan. Secara sepihak.
Ada sirat muak di wajah Mahardika sewaktu ia melemparkan ponsel ke atas kasur tipis di mana ia biasa berbaring untuk tidur atau sekadar melepas lelah.
Namun untuk yang satu ini, Mahardika bukan lelah karena harus berlari mengejar taksi daring tak hafal alamat seperti biasa, melainkan lelah karena harus berlari meninggalkan kenyataan yang tahu-tahu sudah mengurung dirinya dalam kesendirian entah sejak kapan.
Jika boleh jujur, Mahardika sadar akan dirinya yang sudah menyendiriㅡatau memilih menjadi individualis kelewat mandiri di dalam lingkaran orang-orang yang disebutnya sebagai keluarga.
Menyadari kenyataan yang sebenarnya, Mahardika bukanlah seorang penganut individualis, karena ia sama seperti orang kebanyakan yang memiliki sekian teman terpercaya di dalam lingkungan universitas. Ia juga, punya seorang teman dekat yang dapat diandalkan di dalam urusan menampung dirinya sejak tahun lalu.
Bisa disebut, si pemuda anak pemilik rumah.
Dan si pemuda itu, sebetulnya tidak tahu apa masalah yang menimpa seorang Mahardika hingga sifatnya tampak seperti cermin dua sisi. Namun tiap kali telepon seperti beberapa menit lalu terjadi, otaknya yang tidak terlalu menyukai kerumitan bisa dengan cepat mengerti pada situasi dan kondisi yang membuatnya tidak mau banyak bertanya.
Karena ia tahu, Mahardika hanya punya satu jiwa serta dua bahu untuk menanggung beban.
Tidak lebih.Ada hari di mana pukul sepuluh malam, tanpa sengaja Mahardika menghitung sudah berapa lama kiranya ia pulang pada rumah ini. Rumah serta kamar sederhana yang entah kenapa diberikan secara cuma-cuma oleh si pemuda pemilik rumah padanya, terkadang membuat Mahardika sadar diri dan dengan senang hati membantu membersihkan koleksi tanaman kaktus di halaman depan, atau menyeka debu dari pernak-pernik antik di rak tertinggi, atau sekadar menutup jendela ruang tengah apabila hujan angin tiba.
Rumah yang bukan rumahnya.
Rumah yang bukan pulangnya.Tetapi rumah yang mampu memberikan esensi juga rasa iri yang mendongkol, yang meyakinkan diri sendiri bahwa, inilah yang namanya rumah.
"Makan sana. Tadi tante bawain makan, tuh." Mahardika bercicit, tanpa memalingkan wajah dari meja belajarnya yang penuh dengan buku.
Ia juga menebak, pasti pemuda si pemilik rumah masih setia menyembunyikan pipi kirinya yang mengembung bengkak di balik bantal, atau bahkan sedang menggeleng kuat-kuat seperti anak kecil.
Pemuda itu katanya sedang sakit gigi.
Jadi, Mahardika menyerah dalam satu kali percobaan untuk membujuk. Ia sudah hafal betul sekeras apa kepala si pemuda pemilik rumah jika sudah menyangkut rasa sakit. Mungkin kalau Mahardika mencoba membujuk sekali lagi, bisa-bisa ia akan mendapat tendangan yang lumayan sakit di area betis atau tungkainya yang menggantung sekian inci dari bangku.
Toh, agaknya, untuk kali ini, Mahardika harus bersyukur karena konsentrasinya tidak dibuat pecah belah akibat si pemuda pemilik rumah menendang bagian kakinya. Justru si pemuda dengan baik hati menarik-narik ujung kaus belang Mahardika dengan ricuh, sementara jemari lainnya mengapit ponsel milik Mahardika yang layarnya masih berkedip menandakan sebuah panggilan masuk baru.
Mahardika ingin melayangkan protes, tentu, namun sewaktu netra melihat ponsel miliknya ada di dalam genggaman dengan panggilan yang terus berisik minta diangkat, Mahardika turut menghela napas lalu berterima kasih pada si pemuda tanpa suara.
Lantas mengangkat panggilan keluarga itu seperti biasaㅡseperti bukan rumahnya.
"Dika?"
"Kenapa? Mau tanya Dikaㅡ"
"Mami dibawa ke rumah sakit."
***
Delmara Mahardika S,
Yang memilih keberangkatan
sebagai jalur pelarian terbaik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Golden Departure
FanfictionTentang kedatangan, tentang keberangkatan. Tentang jalan hidup singkat yang mungkin pernah atau akan kamu lalui. [ Golden Departure ; Golden Child's ] ©2019, Nyctoscphile All Rights Reserved.