Manusia berubah, mereka memiliki tahap yang akan datang atau yang akan pergi.
Menurut Jessen sendiri, perubahan itu wajar.
Ia pun merasakannya, mulai dari bagaimana caranya bersikap, caranya belajar, caranya menyelesaikan masalah, caranya menghadapi orangtua, sampai selera berpakaian serta kesukaannya tentang seni telah berubah.Dahulu ia sering kali mengabaikan kelas artistik, namun sekarang ia duduk di bangku terdepan.
Dahulu ia sering kali tidak menghabiskan sarapan paginya, sekarang sang ibu selalu tersenyum sewaktu melihat putranya tidak pernah melewatkan sarapan kecuali jika ia nyaris terlambat. Dahulu teman-temannya ada hampir di setiap kelas, sekarang hanya tiga orang pemuda yang mau menerima ia apa adanya.Semua perubahan itu ada, namun Jessen masih tetap menjadi dirinya sendiri.
Tetapi Jessen tidak mengerti, perubahan apa yang sampai menjungkirbalikkan seseorang sampai ke titik terkecil. Berubah seperti kembali dari nol, memulai dengan segala yang baru dan melupakan yang pernah singgah.
Itu terjadi pada salah satu teman Jessenㅡoke, mungkin satu-satunya teman perempuan Jessen.
Perempuan itu adalah perempuan paling menyenangkan yang pernah Jessen temui, rambutnya panjang sebatas dada, kacamata berbingkai tebal sering bertengger di pucuk hidungnya, warna biru menjadi warna favoritnya, dan komunitas pecinta alam adalah rumahnya. Meski tidak menempuh pendidikan di tempat yang sama seperti Jessen, perempuan itu tetap memiliki tempat tersendiri dalam masa perubahan Jessen. Mereka berubah bersama.
Tetapi, si perempuan mengubah serta melupakan banyak hal di dalam dirinya. Termasuk, Jessen sendiri.
Langit kelabu menemani langkah-langkah panjang Jessen pada suatu malam sekitar pukul delapan. Senyumnya merekah, menyambut sebuah kedatangan yang telah lama pergi seperti tidak ingat kembali.
"Hei. Udah nunggu lama, ya?"
Si perempuan menoleh, mendapati kehadiran Jessen yang sudah tersenyum di sana. Siap menceritakan apa saja, bertanya apa saja. Bertukar kabar seperti dua orang sahabat yang lama terpisahkan oleh jarak dan akan bertemu bila waktu keduanya mencukupi.
Sayang, rona pada wajah Jessen yang tidak bisa ditutupi tampak kontras dengan wajah di hadapan.
"Coba kalau lo bales chat gue tadi, gue langsung jalan ke sini." Jessen ingat betul akan jendela obrolannya dengan si perempuan yang terasa belum semakin memanjang. "Lo apa kabar?"
"Jes, gue minta, lo berhenti temuin gue."
Dunia di sisi Jessen membeku, dahinya berkerut samar sebab tidak mengerti kenapa kalimat sedemikian asing terucap dengan mudahnya oleh sang sahabat.
Jessen sampai berpikir, salah apa yang telah ia perbuat?
"Berhenti nemuin lo?"
"Iya. Anggap kita nggak pernah ketemu, bahkan kalau perlu, anggap gue nggak ada."
"Lo itu kenapa, sih?"
"Gue mau minta tolong, berhenti temuin gue." Si perempuan berucap tegas. "Lo pikir gue selalu bisa ada buat lo di saat lo lagi ngeluh? Lo pikir gue cuma ngurusin hidup lo? Enggak, Jes. Gue punya masalah sendiri, punya hidup sendiri."
Jessen masih tidak mengerti, tidak paham ke mana arah konversasi itu berlalu.
Seingatnya, ia bahkan tidak pernah lagi bercerita tentang masalah keluarganya pada perempuan ini atau tentang masalah jurusan seni selama empat bulan lamanya. Waktu yang sama dengan kepergian tanpa kabar sang sahabat. Lalu, Jessen masih tidak paham mengapa.
"Lo itu ganggu sebenernya, Jes."
Sahabatnya itu lantas pergi, meninggalkan Jessen dengan segumpal kuriositas yang tidak akan pernah bisa memberikan penjelasan barang satu ujaran.
Juga meninggalkankan Jessen sendirian, dengan pedih yang entah menggerakkan hatinya ke arah mana. Yang jelas, Jessen hanya sadar atas langkah yang sudah tak lagi terlihat di ujung pandangan, atau bersamaan dengan ujung matanya sendiri yang kini terasa basah.
Perubahan itu ada, baginya, bagi sahabatnya, bagi semua orang. Tetapi perubahan dari sahabatnya itulah yang membuat Jessen belajar untuk mengerti, bahwa sedekat apa pun setiap insan, mereka masih memiliki mata, hati, pikiran, dan jalan hidup yang berbeda. Bisa saja satu dari mereka senang, namun tidak untuk satu yang lain. Bisa saja satu dari mereka ingin, namun enggan untuk satu yang lain.
Maka setelahnya, doa Jessen hanya dilayangkan kepada orang-orang di dekatnya, agar mereka tidak kelak merasakan sakit seperti apa yang ia rasakan di detik jalinan persahabatannya itu lenyap.
***
Jessen Ammar Aditya,
Keberangkatan tidak pernah mengenal jarak, mungkin orang di sekitar adalah selanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Golden Departure
FanfictionTentang kedatangan, tentang keberangkatan. Tentang jalan hidup singkat yang mungkin pernah atau akan kamu lalui. [ Golden Departure ; Golden Child's ] ©2019, Nyctoscphile All Rights Reserved.