Departure 9.0

283 31 6
                                    

Ada waktu dari dua puluh empat jam penuh untuk beberapa orang mengatur napas, beristirahat sejenak dari tuntutan-tuntutan dunia yang mengharuskan tiap-tiap mereka menjadi sempurna di mata semesta raya.

Tetapi terkadang, itu belum cukup untuk menghapuskan rasa-rasa lelah yang imbang membebani kedua bahu, dan lagi-lagi raga itu pun harus berakhir memasang diri dengan segala terbaik, tanpa cacat. Mengedarkan sorot mata cerah seakan hari ini bukan sebuah masalah, mengukir garis-garis senyuman ramah seolah jiwa di dalamnya tidak menyimpan sebongkah amarah.

Dan hal itu yang kembali terjadi secara berulang, menyisakan lelah tanpa tepian di penghujung hari sewaktu matahari menggelap di peristirahatan, menggantinya dengan bising nan riuh khas kota malam sekitar pukul tujuh.

Bus umum dengan bangku ternyaman tidak serta-merta membuat lelahnya pergi, gelimang cahaya yang hanya tersekat pembatas kaca jendela juga tidak segera membuat senyumnya bisa terangkat lagi seperti ia pada ekspektasi orang banyak.

Barangkali, dunia luar telah membuatnya matiㅡatau membuatnya tak lagi peduli pada diri sendiri.

Segaris senyum paling tipis yang dimiliki, terakhir kali tampak saat tempat tujuannya telah terlihat dan tangan kanannya sopan menyerahkan selembar uang pas sebagai alat pembayaran, tidak enak hati mengabaikan kata terima kasih dari sang pengemudi bus, tubuhnya membalas dengan membungkuk singkat sebelum akhirnya berlalu tanpa kata.

Barangkali, dunia tidak lagi butuh perawakan ramahㅡatau hanya ia yang tidak bisa menyisihkan sedikit ekspresi untuk diri sendiri.

Selasar aspal kusam dan berlubang di beberapa bagiannya seakan membentang tak berujung, beruntung ia masih ingat bahwa tempatnya pulang terletak di belokan terakhir yang jalannya tidak lagi memiliki keramaian sebagai teman bicara pada bisu.

Tali tas ransel yang tidak terisi penuh itu menggantung lemas pada tepi pundaknya yang masih terasa nyeri meski selembar jaket telah menutupnya rapat-rapat. Pun terasa semakin berat saja, sedetik setelah kumpulan awan muram ikut menjatuhi tempat yang sama—pada pundaknya—dan seluruh sisa harinya.

Temaram cahaya lampu yang tertanam pada sebatang pohon di atas sana sangat sering membuat silau tiap kali ia melintas, membuat ia menolak menengadah lama-lama dan terpaksa memutus tatap pada angan-angan di setiap cetakan kanvas yang ia kenali bernama langit.

Dan cahaya tersebut kelak menjadi penanda, bahwa itulah belokan terakhir yang menghubungkan ia dan sepuluh langkah maju kemudian untuk pulang, untuk kembali memulai segalanya dari nol pada fajar hari di mana jiwa belum sebenar-benarnya dapat menyanggupi.

Siluet khawatir itu berarti menunggu.
Menunggu yang mungkin membuang lima menit waktu istirahatnya terbuang percuma di tengah perjalanan pulang, di tengah kemacetan tak berdasar, atau akibat terlalu lama berbincang tanpa suara pada angin yang menyapu wajah tanpa rona miliknya.

Terhitung dua langkah lagi sampai kepala yang dipenuhi abu-abu tersebut menunduk sedikit, isyarat singkat kalau ia tidak ingin angkat bicara, biarlah napas beratnya menjelaskan semua rasa muak dan lelah itu.

"Ai?"

Siluet kian menjadi gemerasak yang nyata, suara kecil yang membuat ia percaya jika tak ada salahnya kembali melanjutkan dua langkah yang tersisa untuk menuntaskan perjalanan panjangnya.

Mungkin, dahi pemuda itu tidak tahu diri, karena sebelum semua terlihat, lebih dulu ia mendekat sebisanya, lantas mengistirahatkan ujung dahinya pada pundak sempit yang enggan pula bergerak sebab takut jika akan ada jiwa yang remuk setelahnya.

Namun tidak ada gerakan berarti sampai satu menit ke depan, kecuali jika perempuan yang berperan sebagai tempat pulang sang pemuda malam ini tidak berinisiatif mengangkat sebilah tangannya naik, mengusap dan sesekali menepuk punggung biasa-biasa saja yang kini telah beralih fungsi menjadi sebuah tulang.

"Nggak apa-apa, nangis aja."

Sang perempuan menyadari bahwa intensitas usapan itu harusnya lebih erat lagi, dari hari kemarin. "Dunia kamu masih sama walaupun kamu nangis. Tapi kalau kamu nggak nangis, justru dunia akan jadi lebih buruk."

Maka kelelahannya berujung pecah, setelah semesta memutar semua kilas balik hari-harinya yang sulit, pada keinginan yang tak sampai meski hanya sekadar membohongi diri sendiri bahwa tidak apa-apa untuk menjadi tidak baik-baik saja.

Malam itu ia menghabiskan lelahnya luruh bersama tangis, dengan sedikit doa seorang pemuda tidak akan dihukum hanya karena ia menangis.

Sebab lelahnya mengajarkan ia untuk tidak terlalu patuh menegakkan wajah serta senyuman ke depan, tetapi juga membawa serta diam dan orang-orang yang mengerti akan keputusasaan untuk sesekali menunduk, melepaskan penat dalam tangis dan embusan napas panjang di akhir pertahanan.

***

Aidan Axra Deromme Purnawijaya,Kalau suatu kali kedatangan bisa membawa senyuman,Maka di lain kali,kedatangan bisa membawa yang sebaliknya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aidan Axra Deromme Purnawijaya,
Kalau suatu kali kedatangan bisa membawa senyuman,
Maka di lain kali,
kedatangan bisa membawa yang sebaliknya.

Golden DepartureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang