Departure 5.0

294 38 10
                                    

Di antara banyaknya lalu lalang orang-orang di sini, mau tidak mau Adi harus meminjamkan rungunya untuk mendengar segala kesibukan yang ada.

Kesibukan yang terasa dibuat-buat, kesibukan yang terasa tanpa rela meski dengan hati.

Mungkin, memang Adi adalah satu dari sekian orang asing di pelataran suram ini, namun Adi yakin bahwa ia adalah satu dari sekian orang yang kehadirannya paling ditunggu oleh sang pemeran utama dalam cerita yang baru dibuatnya sendiri, beberapa hari lalu.

Berlatar selasar hijau, bersih, dan sepi, mungkin saat jam makan siang sedang berlangsung.

"Oh. Aku kira kamu sakit. Jangan murung gitu dong, jelek."

"Maaf, tapi aku keren kalau lagi senyum aja."

"Ya, udah, ayo senyum!"

"Dih?"

Adi betulan tersenyum, suara-suara itu masih terdengar berputar di telinga, masih berbentuk bayang dalam ingatan. Segalanya masih dapat membuat Adi tersenyum samar, di balik wajah yang setia tertunduk menatap nanar sepasang sepatu hitam miliknya.

Kalau orang lain menilai tentang bagaimana Adi bereaksi, bisa saja mereka mengira Adi sedikit memiliki pemikiran yang berbeda.

Padahal, mau seperti apa pun akhirnya, Adi sama seperti mereka kebanyakan. Yang datang dengan alasan serupaㅡdengan perasaan serupa pula, atau bisa saja, dengan perasaan lebih dari apa yang orang-orang lihat.

Kali ini, berlatar ruang luas dengan pencahayaan putih tenang di tiap sudut plafon.

"Tahu nggak, sih, rasanya aku mau nangis."

"Nangis aja, aku tungguin."

"Kenapa kamu tungguin?"

"Biar aku cari alasan supaya kamu berhenti nangis. Atau nggak, biar aku yang jadi alasan supaya kamu berhenti nangis."

Terdengar lucu, karena di sekon yang sama, Adi bisa mendengar isak tangis yang sebenarnya.

Membuat kepala itu menegas, meluruskan pandangan kemudian menyisir atensi pada area sekitar. Bisa Adi dapati dua sampai empat orang sekaligus sedang mengusap air mata tidak jauh dari tempatnya duduk saat ini, isaknya terdengar begitu memilukan. Terdengar mengajak.

Tetapi satu yang Adi genggam kuat-kuat sepanjang malam sampai fajar menjelang menyempurnakan hari itu adalah; tidak boleh menangis. Setidaknya, tidak secara terang-terangan, atau setidaknya, tidak sampai terdengar oleh rungu di ujung jangkauan yang disebut-sebut sudah tak lagi berfungsi.

Masih di latar yang sama, namun dengan jumlah orang yang berbeda. Sepertinya hari itu sedikit lebih ramai,

Juga sedikit lebih sesak.

"Kamu Adi, ya? Yang terakhir masuk ke dalam ruangan ini?"

"Iya, saya."

"Dia bilangㅡatau ngeluh apa aja?"

"Enggak, kok. Tadi dia nggak bicara panjang-panjang, apalagi ngeluh.
Dia cuma bilang, nggak nyesel ketemu saya walaupun baru lima hari."

Ditelan diam, Adi termangu di tengah langkah yang sudah gontai. Jemarinya tergenggam erat sampai buku-bukunya memutih, bibir bawahnya sedikit menyalurkan rasa nyeri saat sadar ia sendiri tengah refleks menggigitnya.

Latar nyata siang itu sedikit lebih ramai, ada beberapa wajah familier yang pernah Adi lihat sekali atau dua kali, membuat siang itu sedikit lebih sesak,

Juga sedikit lebih sendu.

Secara sembunyi, di balik punggung-punggung orang lain yang dirasa lebih penting untuk menyaksikan sebuah keberangkatan, Adi menyetujui seutas kalimat yang terucap lirih bersamaan dengan segaris senyum tipis di atas ketakutan.

"Kita baru ketemu berapa hari, sih? Tiga? Lima?"

"Lima."

"Nah, itu. Tapi aku nggak nyesel ketemu kamu. Makasih ya, kamu udah mau jadi temen aku walau cuma lima hari."

"Yang namanya temen ... itu selamanya."

"Iya, tapi kalau yang satu meninggal duluan, Adi."

Masih dengan setelan sandang sewarna jelaga, masih dengan sepasang sepatu hitam bernoda tanah merah di sana-sini, masih dengan jiwa yang belum sanggup untuk menerima kepergian secepat kedatangan itu pernah datang dan singgah.

Mau tidak mau Adi harus meminjamkan ledakan isak tangisnya untuk menutup cerita yang baru dibuatnya sendiri, beberapa hari lalu.

Dan mungkin itu, latar terakhirnya.

***

Radin Dhea Taraka,Baginya, kedatangan dan keberangkatan itu sama saja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Radin Dhea Taraka,
Baginya, kedatangan dan keberangkatan itu sama saja. Singkat dan menyesakkan.

Golden DepartureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang