Menjadi orang terakhir adalah sebuah kepercayaan yang sangat besar tanggung jawabnya, apalagi jika semua sisa hari dilimpahkan pada orang tersebut. Aturan ini dan itu juga masih dilakukannya dengan baik tanpa melanggar apa pun.
Di sanalah ia berdiri kebingungan.
Kedua netra mengedar ke sekitar, air dari langit menghunjam bumi sejak beberapa menit yang lalu, bahkan ketika ia baru saja merapatkan pintu besi dari sebuah retail tepat di belakang punggungnya.Hari ini hujan lagi, namun lebih deras dari kemarin. Dan hal itulah yang membuat segelintir orang terpaksa berdiam diri di bawah sisa atap teras retail yang panjangnya pun tidak sampai menyentuh satu meter, membuat percikan air tetap berusaha membasahi segala rupa.
Dan kembali pada realita, Jana sebetulnya masih sedikit bingung menghadapi situasi kecil namun menjengkelkan ini.
Jemari tangan kanannya masih menggenggam erat payung yang telah terbuka lebar, tangan lainnya mendekap ransel serta jaket yang bahkan belum sempat ia kenakan, sementara netranya sudah lebih dulu jatuh menitik tali sepatunya yang tidak terikat baik, sejurus juga ia dapati genangan air telah mengepung selasar hancur dan berlubang di sekitar tempat ia berdiri.
Tentu, Jana tetaplah manusia yang tidak ingin seluruh sandang dan tubuhnya basah ketika ia akhirnya sampai di rumah dengan selamat.
Jadi, sebelum sepatunya basah sempurna dan meninggalkan rasa tidak nyaman pada kedua kaki, meski sedikit repot, Jana lebih dulu bergerak cekat untuk berusaha memperbaiki tali-tali yang menyilang tersebut.
"Maaf," Jana mendongak, menemui si pembuat kata yang ternyata sedang berdiri di dekatnya, "kalau mau, sini saya bantu. Kayaknya kamu kerepotan."
Tawaran yang baik. Ragu-ragu Jana mengangguk kaku sebelum akhirnya ia menyerahkan payung serta ransel hitam miliknya pada si penawar.
"Maaf, jadi ngerepotin sebentar." Jana berujar, diselingi ringisan kecil yang entah dilihat oleh si penawar atau tidak.
"Nggak apa-apa. Saya juga nggak suka, kalau sepatu saya basah dan talinya lepas."
Jana terkekeh mendengar prinsipnya sama betul dengan gadis yang membeberkan prinsipnya pada orang asing tanpa diminta.
Sewaktu Jana kembali berdiri dan akhirnya mengenakan balutan jaket, pun si gadis masih setia menyimpan ransel Jana di tangan kirinya, dan tangan kanannya yang pendek dengan payung dalam genggaman, masih berusaha menyeimbangkan tubuh tinggi Janaㅡmasih berusaha agar kepala pemuda itu tidak ikut basah seperti kakinya yang sudah basah sebagian.
Dan tidak, Jana tidak sebodoh itu untuk menyadari bahwa gadis asing ini kesulitan untuk memayungi Jana dengan tingginya yang tidak tahu diri.
Jadi, cepat-cepatlah Jana menyelesaikan urusannya.
"Terima kasih, ya, udah mau disusahin."
"Iya. Padahal nggak apa-apa," balas si gadis seraya menyerahkan barang di tangan kepada si pemilik.
Jana tahu sekarang ia bersisian dengan si gadis yang tidak mau repot-repot menyeka rambut basahnya. Humani itu datang dan berteduh tanpa apa-apa, tanpa payung, tanpa jaket, atau atribut pelindung lain. Hanya tas jinjing kain sewarna pucat gading yang digenggamnya erat di samping tubuh, takut-takut jikalau ada yang menariknya paksa lalu dibawa pergi.
Dan Jana sekarang juga tahu, jika orang asingㅡsiapa pun itu, tidak lagi mengenal asing jika ada hati yang ingin menerobos masuk tanpa permisi lantas mencari tahu. Dalam hal ini, dituju pada Jana dan asing yang terasa maklum.
"Kamu mau ke mana? Nggak bawa payung?"
"Saya mau ke depan situ, tunggu taksi. Cuma kalau hujan deras begini nunggu di sana, nanti malah saya masuk taksi basah-basahan."
"Saya, kan, ada payung. Mau tunggu bareng?"
Oh, Jana juga tahu. Jika di detik yang sama ketika kedua mata gadis itu mengerjap, ada sebagian hatinya yang telah menorobos masuk ke dalam sana tanpa permisi.
***
Jana Mahadana,
Kedatangan yang disukainya, ialah hujan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Golden Departure
FanfictionTentang kedatangan, tentang keberangkatan. Tentang jalan hidup singkat yang mungkin pernah atau akan kamu lalui. [ Golden Departure ; Golden Child's ] ©2019, Nyctoscphile All Rights Reserved.