Departure 2.0

519 50 7
                                    

Dulu, ada seorang pemuda yang tidak percaya jika bahagia memiliki batas ruang dan waktu.

Yang ia kira, semesta seperti sudah membuat petak demi petak untuk membatasi garis takdirnya, juga garis senyum terpaksa yang sosok pendukung lain tunjukkan demi sekadar menguatkan diri.

"Maaf, aku nggak bisa."

"Jangan minta maaf terus, aku jadi mau nangis."

"Maaf."

Dua puluh Januari, bersebelahan dengan sunyi pukul enam sore, kedua insan itu memeluk dingin di bawah kaki langit seraya menunggu senja berakhir. Bertukar maaf seolah keduanya tidak lagi punya bahan bincang yang cukup, padahal sederhananya, mereka hanya tidak ingin ada jeda di antara sebuah pertemuan.

Si pemuda jadi teringat, ia beberapa kali pernah mengatakan jika sewaktu salah satu di antara keduanya harus gagal mengambil jalur yang diinginkan dan terpaksa harus bermanuver pada jalur keduaㅡyang artinya, mereka harus rela berdamai dengan jarak.

"Kita harus sepakat. Kalau salah satu dari kita harus pergi, nggak ada yang boleh egois."

"Aku nggak akan egois. Aku cuma takut gagal, Tian."

Pada realitanya, yang beberapa Minggu lalu dilanda ketakutan tidak normal, bisa mengembuskan napas panjang dan berteriak pada duniaㅡjuga pada yang lain bahwa ia berhasil. Ia tidak akan pergi.

Namun di balik itu, si pemudalah yang justru gagal.

Demi apa pun, ia menyesal sekaligus ingin membantah dunia bahwa untuk sekali saja, jika bisaㅡjika boleh, ia ingin menjadi seorang yang egois.

Sekali saja.

"Nggak apa-apa, nanti kalau salah satu dari kita libur, kita ketemu, ya?"

"Memangnya kamu sanggup?"

"Apa?"

"Ketemu cuma pas liburan?"

"Ya, enggak. Tapi, kan, nanti kamu juga pulang. Aku juga udah berdoa, semoga kamuㅡjuga aku, selalu sanggup."

Dua puluh Maret, bersebelahan dengan keramaian yang belum bersedia kondusif bahkan ketika lingkar waktu menunjukkan pukul tujuh malam, kedua insan itu berbincang santai, sesekali menguar tawa sampai beberapa pasang mata asing memperhatikan. Kelewat luwes seolah tidak ada hati yang meraung menebar segala penolakan, padahal sederhananya, mereka hanya ingin menutup rapat-rapat rasa takut yang betulan datang kembali.

Dan apa yang pasang mata asing lihat jika sepasang manusia ini adalah menyenangkan, atau pasti sedang dalam fase mensyukuri kebahagiaan, agaknya, salah besar.

Karena tidak ada yang tahu, di balik dua cangkir kopi panas yang sudah tandas total, di balik tawa yang memunculkan lengkungan senyum manis, di balik jemari si gadis yang menggenggam erat ujung kardigan, atau di balik jemari si pemuda yang mengerat pada ambin-ambin tali ransel di ujung pundak kirinya, ada khawatir dan ketakutan yang sudah mereka singkirkan jauh-jauh meski rasanya sia-sia.

Mereka tetap hanya dua humani yang lugu, dan mereka tetap hanya dua humani biasa yang memang masih harus menempuh jalan masing-masing di samping ikatan yang mereka punya.

"Jangan lupa kabarin."

Sesingkat itu rasanya setelah frekuensi informasi menggema untuk para manusia yang dituju agar segera bersiap, sesingkat pula gerakan si pemuda menarik pundak si gadis mendekat dan menenggelamkannya rapat-rapat dalam rengkuhan yang dalam hitungan sekon akan pergi tanpa pernah mengenali kapan pulang itu ada.

Lantas bergeming di sisa waktu, jarak ratusan kilometer mutlak membatasi segalanya.

Dua puluh April, bersebelahan dengan telepon genggam yang menempel di dekat daun telinganya, lengkap dengan suara manis namun terdistraksi oleh sedikit gemerasak ricuh hujan, si pemuda kini percaya jika bahagia memiliki batas serta ruang dan waktu.

***

Sebastian Triantara, Yang keberangkatannya menyedihkan namun menyimpan temu dan rindu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebastian Triantara,
Yang keberangkatannya menyedihkan namun menyimpan temu dan rindu.

Golden DepartureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang