Departure 8.0

272 31 26
                                    

Ares mendengus sekali lagi, mengerling pada arloji yang melingkar pas di pergelangan tangannya sekali lagi. Begitu seterusnya selagi mobilnya melaju lambat dari satu sampai dua meter, membiarkan suara klakson nyaring bersahut-sahutan seraya membelah kepadatan jalan sore hari pukul lima.

Ares memang benci memilih pilihan untuk keluar dari kantor tepat di mana orang-orang menanggalkan waktunya untuk pulang. Diam-diam pula.

Namun rencana satu itu telah membuatnya menyingkirkan rasa benci jauh-jauh, berbekal kesiapan, izin paling emas yang pernah didapat selama ia hidup, serta tekad bulatnya telah membawa Ares pada satu garis finalisasi. Jadi, tentu, ia tidak akan berhenti di sini.

"Jangan, Mbak, jangan dilipet. Sebentar lagi saya ambil."

Adalah yang Ares ucapkan di telepon setelah berhasil memarkirkan mobil hitam tersebut secara pararel di depan sebuah kompleks pertokoan, langkah tergesa-gesa itu berlari kecil menuju salah satu laundry langganannya dalam setahun ini.

Setelah dua sampai tiga percakapan singkat dengan beberapa pegawai, Ares kembali melangkah keluar menuju mobil, bedanya, kali ini satu lembar jas hitam tanpa satu pun garis kusut telah ada di tangannya. Bahkan secara tidak langsung membuat kegugupan yang sedari tadi mendampingi kini luruh sedikit.

Sedikit.

Karena di menit selanjutnya di mana sebuah masalah kembali mencoba mengacaukan sisa hari yang dimiliki Ares. Dan ia, masihlah Ares yang sama seperti Ares beberapa menit lalu, yang ingin memberikan segala terbaik untuk hari ini.

Tetapi realita ingin semesta berkata lain, Ares malah berusaha menyingkirkan rasa jengkel jauh-jauh setelah kesusahpayahannya mengganti jas di tengah kemudi tadi terasa tak lagi berarti. Ia hanya menghela napas pendek, sebisa mungkin menghelanya tanpa terdengar oleh siapa pun.

"Maaf, Kak."

"Nggak apa-apa." Ares merogoh saku celananya dan mengeluarkan beberapa lembar uang kecil, sebelum akhirnya menekuk lutut di hadapan anak perempuan berusia sekitar enam tahun tersebut.

"Nih, kakak ada sedikit, buat ganti es krim kamu." Ares tersenyum, seraya mengusap pelan rambut lembut anak itu. "Beli lagi, ya?"

Sang anak menggeleng, menolak sopan karena merasa bersalah. "Tapi baju Kakak kotor karena aku."

"Nggak apa-apa, kok. Baju bisa dicuci, kan?"

"Beneran, Kak?"

Ares mengangguk, pada akhirnya berhasil memberikan lembar-lembar uang kecil di tangannya pada sang anak sekaligus mengembalikan senyum yang sempat hilang karena keterkejutan tadi saat keduanya tanpa sengaja saling bertubrukan di tepi jalan, membuat es krim vanilla dingin di tangan sang anak berpindah mengotori jas hitam yang baru saja dikenakan oleh Ares.

Terkadang Ares bersyukur, ia tidak diberikan kesabaran yang tinggi tetapi ia punya hati yang mudah untuk mengalah.

"Makasih, ya, Kak."

"Kembali kasih."

Anak itu menghilang di balik lalu lalang keramaian, menyisakan senyum Ares yang perlahan luntur bersamaan dengan napas yang bisa terembus panjang pada akhirnya, pun mau tidak mau membuat Ares melipat asal jasnya yang kotor dan urung untuk ia gunakan, lalu melemparkan benda itu pasrah pada jok belakang mobilnya.

Masih tersisa sepuluh menit lagi, dan menurut Ares, ia tidak tampak istimewa sama sekali seperti rencananya di awal.

Dan seketika Ares jadi merasa tidak yakin.

"Hai, Ares."

"Eh, hai."

"Udah lama nunggu?"

Golden DepartureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang