|8 kirana

65 18 5
                                    


               //Now playing music//
     ~Love lies- Khalid, Normani🎶

               //Now playing music//     ~Love lies- Khalid, Normani🎶

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

                                     Ambyar ga tuh....
                                                 -Agam

Happy Reading!

Aku berdiri di depan cermin setinggi dua meter memantau diri masih dalam dandanan bak nerd, tak memperlihatkan kulit putihku dengan cara menutupnya dengan bedak coklat, kacamata bundar dan rambut kuncir dua, ya begitulah seperti biasa. Tak lama terdengar suara Ibu memanggilku untuk segera turun.Waktu telah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi dan aku yakin Papa sudah bersiap di bawah dengan setelan jas rapi, ah tidak aku selalu memikirkan itu.

Aku menunduk tersenyum masam mencoba tidak untuk mengingatnya lagi. Tak terasa wajahku basah sampai sedikit melunturkan bedak coklat membentuk ukiran bekas cairan bening tergelinang. Segera aku menyeka air mataku saat mendengar suara seorang wanita tua ringkih memanggil, dengan cepat aku menutup bagian yang luntur dengan bedak kembali.

"Cah ayu, ayo turun dulu. Sarapan, udah di tunggu Mama" seru Mak Atun, aku tersenyum nendengarnya, mengangguk dan segera keluar dari kamar sambil menuruni anak tangga.

Sesampai di bawah Mama telah menyiapkan sandwich telur kegemaranku serta segelas susu putih hangat, segera ku lahap makanan itu dengan cepat.

"Makannya jangan buru-buru ga baik"  Mama memperingatkan

"Takut telat Ma"

"Dasar anak ini," wanita paruh baya itu hanya mengelikkan bahu sambil menggelengkan kepala. "Hari ini kamu diantar Deva ya-"

"Gak usah ma" segera aku membalas ucapan Mama. "Aku naik angkot aja kaya biasa" ada rasa berat hati menolak permintaan Mama namun aku harus melakukannya.

***

Plakk

Ahh..

Aku memegangi pipi karna terasa pedih akibat tamparannya baru saja mendarat mulus di wajahku. Saat memasuki pelataran sekolah tadi, tiba-tiba aku di cegat oleh beberapa siswi, mereka menarikku paksa ke tempat lumayan sepi, tak ada siapapun kecuali aku dan beberapa orang yang terlalu asing menurutku.

Mendengar aba-aba, dua orang siswi mencoba membuatku diam tak berkutik. Yang satu menahan tangan kiriku dan satunya lagi menahan sebelahnya, menolak untuk bisa memberontak sedikitpun. Cengkraman mereka sungguh kuat sampai percuma jika aku mencoba melawan, itu hal sia-sia saat ini.

Hening sebentar, salah satu gadis tersenyum miring lalu mendengus kasar. Segera ia meninju wajahku menggunakan tangan kosong, di tangan itu terdapat cincin bergerigi tajam. Wajahku tergores seperti luka sayatan, mengeluarkan cairan darah segar. Saat ini aku ingin berteriak sekencang mungkin hingga terdengar oleh siswa lain namun rasanya mulutku membisu suaraku tertahan tidak mau keluar, aku terus saja merutuki diri tak berguna.

Agustus 00:00Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang