Sinar matahari menelusup masuk ke jendela kamarku, atau bisa di katakan kamar kami sekarang.
Yaa.. Dua minggu sudah, sejak hari dimana lelaki itu menjabat tangan abi dan di sah kan oleh bapak penghulu. Dan dua hari yang lalu pula kami putuskan untuk menempati rumah sederhana kami. Memulai hari sebagai pasangan suami istri.
Ahad pagi ini, sesosok manusia masih betah mengawang di alam mimpinya padahal jam dinding sudah menunjukkan pukul 6 lewat 10 menit.
Sudah aku coba menepuk pelan bahunya hingga sesekali aku guncang, dia masih belum berniat meyudahi tidurnya."Hey bangun, emang kamu ga kerja?" Seruku masih belum menyerah membangunkannya.
Bukannya bangun ia malah melebarkan kelima jarinya "lima menit" ucapnya lantas menarik selimut hingga menutupi setengah wajahnya.
Oke, aku bosan, lelaki ini sulit sekali di bangunkan, maka aku putuskan untuk berlalu ke dapur dan memasak sarapan untuk kami.
Dua butir telur aku kacaukan berbarengan dengan daun bawang yang sebelumnya aku iris tipis, rasanya akan nikmat sekali saat kau goreng dan di sajikan bersama nasi putih hangat.
Sekitar satu jam sudah berlalu, aku sudah selesai memasak bahkan merias diri, tapi makhluk satu ini yang masih meringkuk lucu di kasur masih belum juga menampakan pergerakannya.
Aku memutar bola mata malas, menikah dengan lelaki ini memang memberiku banyak hal yang baru aku ketahui tentang pribadinya.
Walau jujur hingga saat ini aku belum banyak mengetahui tentang apa yang dia suka, apa saja kebiasaannya, apa yang dia benci, ah bahkan aku masih bingung mau memanggil dia dengan sebutan apa.
Malah terkadang aku masih suka terkejut ketika pagi aku membuka mata ada sosok lelaki berbaring di sebelahku dalam keadaan tanganku yang memeluknya, atau kepalaku yang bersandar di dada bidangnya.
Aku kembali menaiki tangga rumah minimalisku, memasuki kamar utama kembali berniat membangunkan kepala keluarga di rumah ini.
"Masih belum juga baa---," ehh kemana dia" gumamku sendirian saat mendapati kasur yang hanya tinggal selimut saja.
"Mencariku, hmm" sepasang tangan melingkar erat di pinggangku membuatku terkejut dan reflek menyiku perut si pemilik tangan yang lantas mengaduh kesakitan.
"Ehhh..aduh maaf, sakit yah" ujarku kini mengelus perut yang baru aku siku tadi.
"Kamu nih apa-apaan sih Ayy, perut kosong gini kamu siku aduuuhh" protesnya masih kesakitan.
"Abisan ngagetin, udah ayo makan" ajakku buru-buru keluar kamar.
Dan disinilah kami di karpet depan tv di hadapkan dengan sarapan sederhana kami, nasi putih hangat dengan telur dadar dan satu toples kerupuk udang serta kecap manis kesukaanku, jangan lupa dua gelas teh manis hangat siap menemani kegiatan sarapan kami.
Aku mengambil tempat di sebelah kiri suamiku yang malah sibuk dengan gadgetnya, membalas chat teman katanya.
"Kahf ehh A, ehh Kang ah ga enakeun, Ka, issshh apa dong" gumamku sendiri, berpikir keras panggilan apa yang harus aku gunakan untuk lelaki di sampingku ini.
Kahfi?, kesannya tidak sopan memanggil hanya nama saja mengingat usianya terpaut dua tahun lebih tua dariku.
Aa, akang?, duhh ko nyunda banget yah nanti malah ketuker sama A Ilham sama Kang Fadhli lagi.
Kakak? Memang dia seniorku?
Aaaahhh pusing dedek :D.
"Ayy, heyy Ayy!"
"Ehh?" terkejut aku tersadar dari pemikiranku tentang panggilan untuk Kahfi.
"Mikirin apa, piring aku masih kosong loh, ayo katanya mau makan" ujarnya lantas mengambil sendok nasi yang buru-buru aku rebut.
"Biar aku aja" ucapku lantas menuangkan nasi ke piring miliknya.
"Kamu mikirin apa tadi Ayy, hmm?" tanyanya dengan tangan mengelus surai hitamku yang memang belum terbalut khimmar.
"Emmm, engga mikirin apa-apa" jawabku mengusir rasa kikuk tentang apa yang sebenarnya aku pikirkan. Kan malu kalau ketahuan aku mikirin panggilan apa yang pas buat dia.
Tapi bukan Kahfi namanya kalau nyerah gitu aja.
"Bohong, itu matanya kedip-kedip berarti bohong, udah ayo cerita kamu mikirin apa?""Ya kali aku ga ngedip Kahf, pedih mata aku" batinku masih menatap wajah yang saat ini jaraknya dekat sekali dengan wajahku.
Buru-buru aku membenarkan posisi dudukku, menjauhkan wajahku dari wajahnya.
"Apasih ah" jawabku asal"Dih merah mukanya, masih malu aja sama suami sendiri juga, udah sini cerita ada apa?" tanyanya lagi kini malah menggenggam erat telapak tanganku.
"Umm, aku bingung mau manggil kamu apaan?" ucapku pelan tapi masih bisa terdengar olehnya.
"Hahahahaahha, ya ampun Ayya, kamu mikir keras mikirin itu aduhh, aduhh kram rahang aku nih" dia malah asik menertawakanku, menyebalkan.
"Ihh tau ah nyebelin," aku tepis genggaman tangannya.
"Yaaah ngambek, lucu deh kamu kalau merah gitu pipinya" ejeknya lagi yang aku balas dengan senyum tipis.
"Iyaa deh iyaa, atuh ga usah di pikirin sekeras itu Ayy, gampang panggil aku mah, Ayang kek, Babe kek, honey kek kan bisa atuh geulis" jelasnya dengan cengiran yang menyebalkan
"Ishh geliii" jawabku mengidikan bahu.
"Hahahaha, gini yahh" dia menelan satu suap nasi lalu melanjutkan perkataannya. "Panggil aku Mas aja, gimana?"
"Mas?" tatapku keheranan, "emang kamu orang jawa?"
"Yaah kamu lupa yah, bapa mertua kamu kan orang malang sayang"
Aku ber-oh ria mendengar penjelasannya.
"Nah cobain panggil Mas Kahfi gitu" godanya lagi."Ihhh seneng banget godain aku sih heran" protesku.
"Ayoo cobain, enakeun ga nyebutnya" masih belum menyerah Kahfi masih menggodaku.
"Mas kahfi" ucapku.
"Iyaa, istriku?" jawabnya.
Dan seketika ada rasa menggelitik di perutku, seperti ada jutaan kupu-kupu terbang disana.
Sudah di pastikan pipiku kembali memerah di buatnya.Ahhh sebel tapi suka ♥
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Dan Takdir-Nya ♥
Short Story" Dari sekian banyak rasa yang sudah bersinggah, hanya satu ini yang membuatku sulit menundukkan pandangan" Based on true story