Malam itu hari Ahad seminggu sebelum hari raya idul adha, Rumah sederhanaku di daerah Bandung disulap ibu menjadi kediaman yang cukup ramai, yang biasanya hanya ada aku, Abi, A Ilham, teh Husna, dan A Fadhli serta ibu kini ramai seluruh keluarga berkumpul.
Bibi, kakak iparku, keponakan dan sepupu sepupuku sedang sibuk membantu ibu dan nenekku di dapur mempersiapkan jamuan makan katanya, aku hendak membantu tapi kata ibu nanti aku bau kompor jadi lebih baik aku menjaga keponakanku saja yang masih kecil-kecil.
______________________________________
"Assalamualaikum" suara abi terdengar di bibir pintu tak lama di ikuti suara kedua lelaki yang tak lain adalah kakak kakakku, mereka baru saja pulang dari mesjid untuk menunaikan sholat magrib berjamaah.
"walaikumussalam" jawab ibuku disusul aku dan kedua kakak iparku yang saat itu sedang mempersiapkan makan malam di meja.
"sekalian makan abi" tawar ibu disusul anggukan abi lantas bergegas menuju meja makan.
suasana hangat seperti biasa kurasakan di meja makan kami, sesekali kami tertawa karena ulah Nadia putri pertama dari kakakku yang berusia 1 tahun saat itu.
"Ayya, gimana kerjaanmu?" tanya abi.
"alhamdulillah abi lancar" ujarku
sebenarnya saat ini aku tengah berfikir keras bagaimana menyampaikan niatan Kahfi di acara donor kala itu, bagaimana memulai pembicaraannya pada Abi tentang seorang lelaki yang akan mengkhitbahku itu.
"Ayya, ada apa nak, kok melamun?" sepertinya ibu menyadari tingkah anehku saat ini.
"ummm begini Bu, Abi..ummm.."
"kenapa ayy bingung gitu mukanya"kali ini kakak keduaku yang bersuara.
"ada lelaki yang ngajak Ayya ta'aruf " ujarku pelan sambil mengaduk aduk semangkuk sup dihadapanku.
"uhuk.."
sudah kuduga ayahku pasti terkejut mendengarnya, bagaimana tidak putri satu-satunya mereka yang pergi kerja saja masih di antar jemput sang ayah kini tiba-tiba saja ada yang mau melamar.
"siapa nak?" tanya ibu.
"namanya Kahfi, bertemu tidak sengaja waktu Ayya naik gunung bulan lalu, dia bilang minggu depan akan kemari menemui ayah" jelasku.
Ayah dan Ibu hanya diam sambil saling pandang lantas melanjutkan makan malamnya tanpa memberi komentar apapun selain senyuman dan anggukan.
---------------------------------------------
Dan inilah harinya, setelah seminggu lalu ia mengirimiku pesan bahwa ia sudah kembali dari daerah asalnya ke Bandung dengan membawa serta kedua orang tuanya yang akan hadir juga hari ini kerumahku, tujuannya sih mau bertemu abi katanya.
Sekitar pukul 20.15 selepas shalat Isya sebuah fortuner hitam berhenti tepat di depan pagar rumahku, aku yang saat itu sedang membalut kepalaku dengan khimar pastel mengintip dari jendela kamarku yang memang lansung mengarah ke halaman luar, mencari tahu siapa yang turun dari mobil itu.
Nampak kakak sulungku membukakan pagar rumah dan mempersilahkan si pemilik mobil memarkirkan kendaraannya tepat di samping motor matic ayahku. Tak lama ibu masuk ke kamarku dengan wajah yang sulit ku deskripsikan namun bisa ku tebak bahwa itu Kahfi yang ada di mobil itu.
Mendadak aku terkena sinus Tachicardia (irama jantung cepat) sepertinya, salah tingkah, mau duduk saja gelisah. samar-samar aku dengar suara ayah menjawab salam dan mempersilahkan si pemberi salam masuk ke rumah kami.
Kakak iparku datang mengetuk pintu kamar dan menyuruhku untuk segera keluar dari kamar, dia bilang Kahfi sudah disini, padahal dia sendiri saja tidak tahu itu kahfi atau bukan secara yang tahu wajahnya hanya aku.
"Bismillah" dengan perlahan aku berdiri sesekali melirik cermin mengintip bagaimana pantulan wajahku disana.
Kakak iparku tersenyum lantas menggandeng tanganku menuju ruang tamu tempat si tersangka itu duduk bersama ayah dan ibuku.
"Assalamualaikum Ayya" ucaapnya setiba aku di ruang tamu
Kuanggukan kepalaku " walaikumussalam" balasku tersenyum ke arahnya.
Percakapan cukup lama terjadi di ruang tamu kami, Abi dengan ayahnya Kahfi saling berbincang begitu pula ibuku dan ibunya Kahfi.
Hingga akhirnya Ayah Kahfi meminta waktu pada ayah untuk mengutarakan maksud mereka yang datang jauh dari daerah pantai pangandaran kemari itu.
"Sebelumnya maafkan kami yang mengganggu kediaman bapak dan ibu malam malam begini, kalau bukan karna Kahfi yang mengajak kami ke Bandung, mau bertemu bidadari katanya" tersenyum simpul ayah Kahfi kearahku lalu melanjutkan pembicaraan lagi.
Sepanjang pembicaraan aku hanya menundukkan diriku sambil menggambar pola abstrak di pahaku.
"Langsung saja, Jadi, pak Rahman berserta ibu, saya sebagai wali sekaligus ayah kandung dari Kahfi bermaksud meminang putri bapak dan ibu untuk putra kedua saya ini" akhir ayah Kahfi disusul dehaman abi.
"Ehmm, baiklah, terimakasih sebelumnya pada Bapak Muslim sekeluarga sudah berkenan mampir ke rumah kami yang sederhana ini, jauh lagi dari ciamis," ujar abi membuka pembicaraannya.
"Sejujurnya kami terkejut saat pertama putri kami bilang bahwa ada seorang lelaki yang akan mengkhitbahnya dalam waktu dekat ini, karna setahu kami anak kami ini belum pernah membicarakan tentang menikah pada kami sebelumnya, dia masih seperti anak remaja yang menikmati masa mudanya" jeda sejenak abi mengenggam tangan kiriku, erat sekali seperti takut anaknya ini hilang.
"Rasanya baru kemarin abi mengajarimu naik sepeda nak" ujar abi lirih, ibu mengusap punggung abi seperti tahu bahwa kristal bening akan segera meluncur dari pelupuk mata abi.
"Ayya, hari ini seorang lelaki datang menemui abi, meminta abi untuk menikahkan putri abi satu-satunya dengan dia, jeda sejenak abi menarik nafas, "Ayya, walau belum yakin 100% abi pada lelaki ini, namun abi tahu lelaki ini lelaki baik untuk Ayya, InsyaAllah dia akan bisa membimbing Ayya mendapatkan surga Allah"
Abi masih menatapku dengan mata yang berkaca-kaca
"Abi.., memberikan restu untuk Ayya bila Ayya mau menerima pinangan Kahfi nak" ujar abi mengakhiri ucapannya.Aku melirik bergantian ke arah abi dan ibu, abi dan ibu hanya mengangguk dan tersenyum kearahku.
"Bismillahirahmanirahim" ujarku menguatkan hati.
"InsyaAllah, Ayya bersedia menerima pinangan Kahfi atas Ayya dengan seijin Abi dan Ibu" ucapku mantap tanpa terbersit keraguan seperti hari-hari sebelumnya.
"Alhamdulillah" ujar seisi orang di ruang tamu kami.
Malu-malu aku lihat Kahfi menyalami tangan Abi disusul pelukan yang Abi berikan untuknya.
Percakapan dua keluarga berlanjut, Ibu dan ibunya Kahfi menuju ruang makan, kata ibu. Ibunya Kahfi membawa banyak sekali buah tangan khas Ciamis dan berniat memindahkannya ke piring saji.
Aku memilih pergi ke halaman, menatap bintang yang seakan mengerti apa yang tengah aku rasakan saat ini.
"Terimakasih" ucap seseorang yang suaranya tak asing lagi buatku.
Tersenyum lega aku kearahnya, membalasnya dengan anggukan lantas sama-sama menikmati langit malam di Bandung kala itu.
Hingga suara Ibu terdengar menyuruh kami untuk bergegas masuk untuk menyantap hidangan makan malam.
Suasana hangat kembali aku rasakan di ruang tengah, beralaskan karpet dua keluarga duduk bersama menyantap makanan yang di siapkan ibu dan kerabatku serta makanan yang di bawa oleh keluarga Kahfi.
"Bismillah, semoga Kahfi bisa menjadi imam yang baik untukku" ucapku pelan nyaris tak terdengar.
💙
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Dan Takdir-Nya ♥
Conto" Dari sekian banyak rasa yang sudah bersinggah, hanya satu ini yang membuatku sulit menundukkan pandangan" Based on true story