Tidak terasa, tersisa 3 hari lagi.
Tiga hari, apa cukup untuk menikmati hari-hari indah bersama Hyunjin?
"Gue ke kelas dulu ya?"
Bagi Nana, Hyunjin tidak seperti pertama kali mereka bertemu; cuek dan acuh.
Nana melihat banyak perubahan pada diri Hyunjin.
Hyunjin tidak lagi pendiam, ia sering menyapa teman-temannya.
Hyunjin tidak lagi kasar, ia lebih suka tersenyum sekarang.
Hyunjin juga lebih suka menggambar.
Nana tidak merasa itu semua ada kaitannya dengan kehadirannya, entahlah, pokoknya dia hanya merasa senang saja.
"Beneran ga mau jauhin Hyunjin? Gue peringatin sekali lagi loh."
Nana menutup loketnya, menemukan iblis itu disana. "Kenapa sih lo batu banget?"
"Kenapa sih lo suka ngurusin hidup gue? Kenapa? Lo udah punya Guanlin, Nancy, stop gangguin Hyunjin. Gue sayang sama dia,"
Nana tuh kadang bisa tiba-tiba pinter gitu kalo lagi tertekan. Heran.
"Bohong." Nancy menyunggingkan senyum miringnya. "Lo sama dia itu cuma rekayasa."
Ah, Nana kembali disadarkan.
Benar apa yang Nancy bilang. Hari-hari yang mereka lewati ini, semuanya hanya rekayasa belaka kan?
"Jangan ngada ngada. Mana ada rekayasa tapi nempel terus?"
Nancy tertawa. "Yah gue nggak goblok sih, tapi terserah, kalo emang lo ga mau nge lepasin Hyunjin." ia terdiam sebentar. "Tinggal tunggu tanggal mainnya aja."
Nana terdiam, mencerna perkataan Nancy.
main apa sih? Nggak ngerti gue.
"yaudah, gue pergi dulu." baru ingin melangkah, matanya melirik Hina. "HINA!! SINII!!"
Nana melihat Hina yang dengan sumringah menghampiri Nancy, kemudian ia melangkahkan kakinya.
"Harusnya yang lo takutin itu Hina, bukan gue." kemudian ia pergi begitu saja.
****
Andai saja, Nana bisa membaca pikiran seseorang, pasti ia tidak akan pernah terjebak dalam situasi ini.
Ia menatap lelaki di depannya yang sedang menyantap makanannya itu dengan lahap.
"Kita berhenti aja ya."
Shit, hampir aja Hyunjin keselek kuah bakso. "A-apa?"
"Gue capek di datengin Nancy mulu." Nana akhirnya jujur. "Bukan gue takut, gue cuma nggak mau ada di situasi ini lagi."
Hyunjin berhenti melahap makanannya. Sebenarnya ia juga menyadari kalau Nana memberi banyak perubahan pada hidupnya.
Ia jadi tidak suka menyendiri, ia jadi suka main keluar, ia juga lebih lembut dari Hyunjin yang kemarin.
Nana yang melakukan semua itu, bukan Hina.
Tapi ia benar-benar menyayangi Hina, apakah itu salah?
"Jangan,"
Entah untuk alasan apa, ia hanya tidak ingin Nana menyudahi semua ini.
Hyunjinpun sekarang sadar, Nana tidak semenjengkelkan itu. Nana orang yang baik, penuh kasih dan perhatian.
Namun Hina tetap yang paling sempurna.
"Lo sama Hina aja."
Hyunjin tertohok. Darimana dia tahu, sih?
"Kenapa sih lo bahas Hina lagi? Gue udah bilang kita cuma teman—"
"Kita juga cuma teman, Hwang."
Hyunjin terdiam, membenarkan. "Jangan lo pikir gue gatau. Gue emang goblok tapi gue tau."
"Apa?"
Nana menghela napasnya kasar. "Awalnga gue pikir gue salah orang. Tapi yang sering gue liat di depan kompleks bareng Hina, itu lo kan?"
Ia menyesali ajakan Hina untuk sering bermain di rumahnya karena ia tahu pasti Nana tidak akan hanya diam di rumah saja. Sesekali ia pasti keluar dan akhirnya mendapati mereka berdua dengan cara seperti ini.
Kenapa Hina tidak pernah mau mendengar?
"Maksud lo apa sih Hwang?"
Hyunjin masih diam, tidak tau harus menjawab apa.
Hanya saja saat ia melihat manik mata Nana sedalam-dalamnya, ia tahu kalau gadis itu,
Sedang lelah.
Sekali lagi, ia mencintai Hina, saking cintanya ia sampai mengorbankan Nana.
Tapi kenapa sekarang, melihat Nana seperti ini dia jadi merasa iba?
Ia tidak siap melepas keduanya. Ia tidak bisa memilih salah satunya.
"Lo suka beneran sama gue?"
****
Males aku tu update gaada yg mau komen. Udahlah aku Hiatus aja sampe bulan agustus.
KAMU SEDANG MEMBACA
(II) bego ㅁ hyunjin
Não Ficção"Apa? Udin yang mana ya? aq lupa." "hah? saipul yang kemaren dihukum pak ucup? eh bentar aq lupa pak ucup yang mana." "hyun-oh kalo hyunjin mah aq tau, yang ngeselin sepanjang masa kan ya?" -Nana "Nana? oh, yang bego itu ya?" - Hyunjin.