-Diam ini membantu cintaku tumbuh dengan hebatnya-
AGIS merasa kehidupan pasca lepas dari sekolah menengah pertamanya terbilang lebih baik. Tak ada lagi cacian yang menghina dirinya, tak ada lagi tatapan membunuh yang menghujaninya, tak ada lagi rasa kalut dan benci yang terpendam saat mendapat perlakuan yang tidak-tidak dari orang sekelilingnya. Setidaknya tidak sampai lima harinya mulai terlewati di SMA Nusa Bangsa ini.
Agis merasa kehidupannya kembali normal. Sewajarnya seorang siswi yang sibuk mempersiapkan peralatan MOS, diliputi rasa was-was acap kali berhadapan dengan kakak kelas yang nyaris semua memperlihatkan taringnya, ikut merasakan keraguan, keingintahuan, ketakutan, hingga kebahagiaan selayaknya berbagai hal yang dirasa siswa yang baru saja menginjakan langkah di masa SMA.
Agis ingin memulai kehidupan barunya lebih baik lagi. Ialah kehidupan yang jauh dari bayang-bayang popularitas selayaknya dahulu sempat Agis rasakan. Dirinya ingin terlepas dari orang-orang yang hanya ingin mendekatinya karena sesuatu yang Agis miliki.
Kejadian buruk yang pernah dilalui Agis, tentu masih saja menyisakan kepahitan dan ketakutan yang sarat terasa. Takut untuk membuka lebar pertemanan, takut untuk mengenal orang yang hanya ingin memanfaatkan dirinya, takut kehilangan akan kembali didapat saat kejatuhan yang entah kapan lagi akan terjadi.
Karena itulah Agis mulai sedikit tertutup, berbenah sikap dan menahan diri, mencoba untuk tak terlihat hingga perhatian tak lagi memihak kepadanya.
Seperti di hari ini. Hari terakhir acara MOS berlangsung. Agendanya pun hanya hiburan yang diadakan pihak OSIS dengan sedikit sumbangan hiburan dari perwakilan peserta MOS. Jika kebanyakan peserta berlomba-lomba unjuk gigi untuk sekadar dikenal atau dipuji. Agis justru memilih menyendiri. Di bawah pohon tepi lapangan, di dekat panggung hiburan berdiri.
Rambut ikal Agis yang kini terikat dua bergoyang-goyang diterpa lembutnya angin. Kedua mata yang dinaungi bulu mata tebal nan lentik itu masih setia terarah ke arah panggung, demi melihat apa yang beberapa orang suguhkan untuk menghibur penonton. Ekspresinya ketika menonton hiburan terlihat tenang dan tak begitu antusiasnya.
Agis melihat beberapa orang bernyanyi solo, stand up comedy, membaca puisi, dan beberapa memainkan alat musik. Semua terlihat biasa, hanya cukup membuat bibir pink alaminya tersenyum sewajarnya. Namun berbeda dengan satu penampilan yang baru mulai tersuguhkan di depannya.
Senyuman di bibir Agis menegang, dan kedua bola matanya pun nampak tertahan untuk berkedip. Permainan piano seorang lelaki di panggung sana seketika membuat Agis terkejut. Lagu itu, Agis tak asing mendengarnya, dan entah mengapa dada Agis terasa sesak. Hingga selama tiga menit berikutnya Agis telah hanyut akan rasa yang pemain piano itu salurkan dalam sebuah lagu yang sangat menyentuh hatinya.
"Top banget si Irgi main pianonya, ganteng ya dia," ujar seseorang yang tiba-tiba sudah duduk tepat di sampingnya sembari tak melepas pandangannya ke arah si lelaki yang kini telah menyelesaikan permainan pianonya.
Namanya Irgi ya?
Lamunan Agis pun buyar sudah, beralih memandang ke arah perempuan berambut hitam sebahu dengan binar mata semangat. Jajaran gigi putihnya terbingkai senyuman lepas, dan rona pink di pipinya menampakan kebahagiaan, seperti emoticon yang selalu Agis pakai untuk menggambarkan keadaan terbaiknya.
"Eh.. Ya?" ucap Agis akhirnya dengan nada yang lebih terdengar balik bertanya.
"Kenalin, gue Orzya Dee. Panggil aja Oryz." Agis menyambut uluran tangan Oryz dan beralih memperkenalkan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
AGRA
JugendliteraturBerkat Ezra, Agista banyak belajar perihal mencinta dan bahagia. Berkat Irgi, Agista banyak mengerti perihal dicintai dan tersakiti. Berkat cinta, ketiganya sibuk terombang-ambing dalam peliknya rasa. A great rule about love. Akankah mampu menyelesa...