☀Hati-hati dengan hati☀

52 13 7
                                    

-Masih jaman ya ngebohongin perasaan dengan dalih cuman sahabat?- Emelyn Lazuardi

EZRA sudah kelima kalinya menyendokkan sambal pada mangkuk bakso yang tinggal setengah. Tak peduli keringat sudah bercucuran dan bibir yang mulai terasa jontor karena pedas, Ezra tetap semangat melahap baksonya seolah rasa pedas terasa kebal di lidahnya.

Jikapun ada seseorang yang bertanya apakah ada yang lebih pedas dari baksonya itu, dengan penuh semangat empat lima dirinya menjawab IYA! Ialah perkataan Agis.

Bukan maksud Ezra untuk baper. Tapi kenyataan memanglah benar, jika perkataan Agis yang beberapa hari lalu tak sengaja didengarnya masih membuat ubun-ubunnya mendidih begitu saja. Walaupun yang dikatakan Agis benar adanya, entah mengapa mengingatnya membuat hati Ezra menolak tak terima.

"Ezra sama kayak cowok lainnya, engga ada yang special-special amat. Sama sekali gue enggak ada rasa lebih sama Ezra, he just my best friend not more."

Bahkan kata-kata Agis itu dapat diiingat Ezra sempurna, sampai pada tanda koma, tanda titik, ekspresi wajah, hingga helaan napasnya!

Ezra sampai sibuk berpikir, mengapa rumus fisika Pak Tyo yang baru saja diberikan tak dihafalnya sesempurna ia menghafal kalimat Agis yang bahkan sudah terlewat beberapa hari. Mungkin kelak Agis harus jadi guru supaya orang-orang bisa semakin pandai mengingat selalu apa katanya. Eh. Atau hanya bagi Ezra saja?

"Lo makan sambel sebesar porsi nasinya Deny tau gak Zra," ujar Galen yang mengundang Deny untuk menjitak pelan kepalanya.

"Enak aja porsi segitu mah cuman camilan bagi gue!" tambah Deny merasa terhina.

Ezra hanya menatap datar kedua teman yang sedang beradu argumen, hingga akhirnya Galen kembali bersuara. "Kacangin aja gue Zra, sampe Aziz gak gagap lagi."

Sialnya kata Aziz yang terdengar justru seperti kata 'Agis' di otak Ezra. Sepertinya seseorang harus membantu Ezra, karena pastilah ada yang konslet di sarafnya hingga yang dipikirkannya selalu saja tentang Agis.

"Len, kalo lo terus-terusan mikir seseorang itu tandanya apaan?" tanya Ezra akhirnya membuat Galen dan Deny yang masih sibuk bersuara memilih terdiam juga.

Galen berpikir keras, dilihatkannya dari dahi yang berkerut dalam. Telunjuknya diketuk-ketukan ke dahinya sendiri, seolah meyakinkan orang-orang bahwa dirinya memang sedang berpikir.

Namun ekspetasi Ezra hancur begitu saja selepas Galen menjawab, "Lo belum bayar utang sama tuh orang."

Ezra pun hanya mengumpat pelan sebelum akhirnya menampol jidat Galen dengan botol saus di depannya. Deny hanya terkekeh melihat aksi keduanya.

"Maksud gue utang penjelasan, buat deklarasiin lo cinta dia."

Ezra dibuat Galen terdiam juga. Sedangkan Deny seketika heboh sendiri mendengar petuah tak diduga dari seorang Galen.

"Mantul bro," sahut Deny sambil mengajak Galen ber-high five ria. Sontak Galen pun berbesar kepala, "Siapa dulu, Galen Teguh ni gue."

Ezra tak diikutkannya menyahuti gurauan Deny dan Galen. Karena yang ia pikirkan hanyalah satu. Apa iya dia cinta Agis? Benarkah? Dapatkah? Berbagai tanya itu kembali bermunculan menggelembung di sekitar kepala Ezra.

Namun bagai gelembung udara yang hanya sekejap, gelembung tanya itupun meletup sudah ketika kepala Ezra mendadak mendidih lagi melihat pemandangan di depannya.

Tepatnya berjarak tiga meja di depannya, Ezra dapat melihat jelas tiga insan tengah bercengkerama begitu asyiknya. Ialah Agis, Oryz, dan satu orang yang mengganggu pandangan Ezra--Irgi--masih saja sibuk bercerita entah apa. Satu hal yang pasti, melihat mata Irgi yang tak begitu saja dapat lepas dari Agis menjadikan Ezra mulai paham satu hal. Dirinya tak suka. Ralat, dirinya sungguh-sungguh tak suka!

AGRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang