2.0

6.5K 204 2
                                    

Darren mengemudikan mobilnya dengan penuh ketidaksabaran. Masalahnya, kini ia sedang berada di tengah keramaian jalan. Atau dengan kata lain, Darren terjebak di tengah-tengah kemacetan.

Darren mengklakson mobilnya dan menimbulkan suara bising, banyak juga orang-orang disana yang melakukan hal serupa seperti yang dilakukan Darren.

"Oh ayolah. Bagaimana mungkin, ini sudah tidak sore lagi tapi masih macet. Ini kan bukan waktunya pulang kerja bagi pekerja kantoran biasa," guman Darren sebal. Tangannya kembali memencet tombol klakson di tengah kemudi itu.

Beberapa menit kemudian jalanan berangsur-angsur lancar kembali. Entahlah, Darren juga tidak ingin mencari tahu lebih apa penyebab kecelakaan ini. Darren hanya ingin segera pulang ke rumah dan memeluk Darius.

Atau mungkin bukan itu. Darren ingin segera melihat keadaan Gisel, perempuan penuh sungkan yang sudah bekerja dengannya hampir dua bulan. Yang diam-diam selalu membuat Darren terangsang sendiri karena memikirkan perempuan itu terlalu lama.

Darren tidak pernah mengharapkan seperti ini. Ini menyiksanya, tapi bagaimana lagi. Gisel seolah-olah memberikan perlindungan kuat pada perasaannya sendiri. Dan Darren tidak bisa melakukan apapun karena itu.

Darren tidak ingin mengambil resiko buruk jika sampai Gisel mengundurkan diri. Darius terlampau amat nyaman dengan Gisel, atau mungkin diam-diam mengganggap Gisel seperti ibunya sendiri.

Darren pun mengakui kualitas Gisel ketika menjaga Darius. Segalanya Gisel siapkan dengan baik, bahkan dia sangat telaten dan sangat sabar menghadapi Darius. Mengingat amarah Gisel selalu tersulut jika bertemu Starla.

Darren sampai di jalan depan rumahnya, tapi yang menggerakkan gerbang rumahnya sudah terbuka. Padahal Orion tidak bilang sama sekali kalau mereka berkunjung. Darren tahu benar siapa saja yang punya kunci gerbang rumah miliknya, pertama dia, lalu Bi Inah, Orion, dan Gisel.

Tidak mungkin Bi Inah atau Gisel. Mereka berdua selalu menutup gerbang lagi setelah masuk atau keluar rumah. Darren memasukkan mobilnya, dan matanya menyipit menyadari ada mobil yang terparkir di depan rumahnya.

Jantung Darren tiba-tiba berdetak cepat ketika menyadari sesuatu. Itu mobil ayahnya! Apa yang ingin dilakukan ayah Darren? Darren rasa dia sudah menuruti perintah tuan pemaksa itu!

"Tua Bangka sialan. Mau apa lagi dia kemari, akan kuusir dia jika sampai—eh tunggu. Bagaimana kalau dia melihat Darius?"

Darren segera turun dari mobilnya. Kemudian berlari tergesa masuk ke dalam rumah. Dia kemudian mendapati ayahnya yang sedang mengangkat Darius di udara.

"APA YANG KAU LAKUKAN TUA BANGKA GILA!" Darren berteriak di depan pintu utama rumahnya. Ayahnya yang menyentuh Darius, itu tidak bisa dibiarkan!

Darren menyurutkan langkahnya begitu menyadari Darius yang tertawa ketika ayahnya mencium pipi Darius. Darius terkekeh merasakan bulu-bulu kasar yang menggelitiki pipinya ketika kakek Darius itu mencium Darius.

Mengabaikan teriakan Darren sebelumnya ayahnya berkata,"Kenapa kau tidak bilang kalau sudah menikah. Sudah punya anak dan juga memberikan pengobatan pada mertuamu yang sakit itu."

"Tidak ada gunanya memberitahumu." Darren mencoba mengambil Darius dari gendongan ayahnya. Darren merasa sakit hati ketika Darius merasa tidak terima dipisahkan dari kakeknya.

"Lihat kan. Cucuku ini akan sangat berbakti pada kakeknya nantinya." Ayah Darren kembali mengusap-usapkan pipinya pada pipi Darius. Membuat bayi itu tertawa geli.

"Jangan harap. Lebih baik kau segera keluar, rumahku ini tidak cocok diinjak oleh seorang sepertimu." Darren mengusir ayahnya. Namun ayahnya tidak bergeming.

"Oh tentu saja. Aku akan keluar dari sini." Ayah Darren bangkit sembari menggendong Darius. Lalu dia melanjutkan ucapannya,"Dengan Darius tentunya."

"Kau tidak akan bisa. Berikan Darius padaku." Darren tidak terima, dia berusaha mengambil kembali Darius tapi tangannya langsung ditangkis oleh ayahnya.

"Kalau kau mau Darius kembali, maka kami harus kembali juga ke rumah. Bukan rumah ini, kurasa kau tahu betul apa yang kumaksud rumah." Ayah Darren memberikan penawaran.

Percakapan seru mereka terhenti ketika Gisel berjalan ke arah dua orang itu membawa sebuah botol minuman dan beberapa gelas."Maafkan aku yang lama, aku agak kesusahan mencari minuman yang anda maksud tadi. Jadinya aku dan Bu Inah mencari minuman ini, dan hasilnya hanya satu botol ini yang kutemukan. Tidak apakan?" Gisel menunjuk botol yang kini dia letakkan di meja ruang tamu.

"Oh tentu saja tidak apa-apa." Ayah Darren membalas ucapan Gisel dengan ramah, diakhiri senyum di akhir kalimatnya. Kemudian kembali duduk, dan meletakkan Darius di pangkuannya.

"Ngomong-ngomong Darius mirip Darren waktu kecil," ucap ayah Darren sembari menuangkan minuman dalam botol itu ke dalam gelas setelah membuka penutup botolnya.

"Tentu saja, dia anakku. Karena itu, cepat berikan kemari. Aku tidak ingin Darius nantinya jadi sepertimu!" Darren menunjukk Darius, memberikan kode agar ayahnya mau memberikan buah hatinya itu kembali padanya.

"Memangnya apa yang salah denganku? Aku ini sosok sempurna."

Ucapan ayahnya dihadiahi decihan olah Darren. Kemudian ayahnya kembali berucap,"Selain itu, aku lebih mengkhawatirkan kalau Darius tinggal denganmu dia akan jadi durhaka pada ayahnya sendiri." Ayah Darren kemudian menengguk minumannya sedikit.

Darren memandang ayahnya penuh tatapan permusuhan. Sementara ayah Darren tenang-tenang saja. Gisel yang sedari tadi berdiri hanya memerhatikan interaksi keduanya sambil bertanya-tanya dalam hati, sehingga memicu keingintahuan lebih dalam akan hal-hal mengenai Darren.

"Aku cukup senang, seleramu memilih istri lumayan." Ayah Darren melirik Gisel yang tengah berdiri. Membuat wajah Gisel memerah. Dalam hati dia mengamini apa yang dikatakan ayah Darren.

Darren melirik Gisel, kemudian bertanya dalam hati."Apa-apaan itu! Dia memerah seperti itu! Benar-benar perempuan yang sulit ditebak."

"Apanya?" Darren bertanya balik pada ayahnya. Merasa tidak paham apa yang dimaksud ayahnya.

"Istri yang penurut, heh?" Ayah Darren meletakkan kembali gelas yang masih berisi sedikit cairan berwarna merah kehitam-hitaman itu ke meja. Kemudian menyeka mulutnya dengan ibu jari.

Ayah Darren bangkit dan menggendong Darius. Bayi itu tampak nyaman digendong oleh kakeknya, membuat Darren merutuki anaknya dalam hati.

"Kembali ke rumah, aku akan membawa Darius bersamaku. Ajak istri dan mertuamu, biar pembantu di rumah ini yang merawat rumah ini sampai kau benar-benar siap tinggal sendiri."

"Kau ini apa-apaan! Lihat, bahkan sekarang pun aku bisa tinggal sendiri." Darren mendengus tak terima di akhir kalimat. Bicara dengan ayahnya selalu membuatnya emosi.

"Keputusanku sudah bulat. Dengan kau atau tanpa kau, Darius akan tetap bersamaku. Kau tahu? Sebenarnya aku cukup senang dengan cucu pertamaku." Ayah Darren berjalan ke pintu utama rumah Darren.

"Kau punya waktu sampai kapanpun. Pintu rumah akan selalu terbuka untukmu." Setelah mengucapkan itu, tak lama kemudian ayah Darren lenyap dari pandangan Darren. Dan disusul bunyi mobil yang bergerak menjauhi rumahnya.

•»Next 2.1

My Lovely Baby sitterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang