2.5

8.2K 264 47
                                    

Gisel memakai pakaian santai karena menurutnya dia tidak akan masuk ke kolam renang, lagipula memang Gisel tidak membawa pakaian renang ke rumah Darren. Gisel mengikat rambutnya gaya kuncir kuda, pesta di luar pasti akan sangat panas, jadinya dia tidak akan merasa terganggu dengan rambut yang menempel di kulit karena keringat nantinya.

Darren sendiri sudah keluar daritadi tanpa mandi terlebih dulu, katanya dia ingin mandi di kolam renang.

"Kau yakin? Tidak takut satu kolam renang akan terkontaminasi baumu?" tanya Gisel begitu Darren bangkit dari ranjang. Hanya memakai bokser yang dia gunakan juga tadi malam.

"Mereka akan bersyukur kalau terkontaminasi olehku. Lagipula mungkin bukan hanya aku." Setelah mengatakan itu Darren benar-benar pergi keluar dan langsung melompat ke dalam kolam renang.

Gisel sendiri tengah menuruni tangga, menuju kamar ayahnya. Setelah mengecek ayahnya baik-baik saja dan sudah makan, Gisel segera menyusul ke belakang rumah. Tepat dimana kolam renang berada dan pesta diadakan.

Begitu Gisel sampai di kolam renang. Gisel tercengang sejenak, imannya serasa runtuh karena disuguhkan pemandangan yang menggoda. Otot-otot keras saudara-saudara Darren dan tubuh-tubuh seksi saudari-saudarinya yang membuat nyali Gisel mendadak menciut.

"Hai Gisel! Akhirnya kau datang juga, kami sudah menunggumu lho." Jessica mendekati Gisel. Kemudian merangkul bahu Gisel, mengakrabkan diri."Tenang saja, Darius sudah dibawa Ibu Jia tadi, ibu-ibu itu sedang asik bergosip sekarang." Jessica kemudian tertawa, diikuti Gisel yang tersenyum.

"Kau ini sopan sekali ya." Jenet ikut mendekati Gisel dan merangkul bahunya yang lain.

Memang sih, perempuan-perempuan disini tampak menggunakan bikini. Yang menggunakan pakaian santai hanya ibu-ibu dan bapak-bapak."Berasa tua deh dia," celetuk seorang gadis yang menggunakan pakaian renang. Duduk di pinggir kolam renang bersama adik Jessica, Jovie. Tampak seumuran dengannya.

Kemudian gadis itu mendekat."Kenalkan aku Anne, kau tahu? Anak ibu-ibu paling rempong itu." Anne menunjuk ke arah Diandra. Memang sih Diandra itu spesies ibu-ibu bandar gosip. Kemudian mengulurkan tangannya, berkenalan.

"Ah aku Gisel." Gisel menyalami Anne. Kemudian Anne menarik lengan Gisel ke ke dekat kolam. Dibantu Jessica dan Jenet yang juga mendorongnya dari belakang.

"Ayo!Ayo!Ayo!" sorakan-sorakan terdengar. Bersamaan Gisel yang masuk ke kolam renang mereka menjerit bahagia,"YEEEAH!" Jessica dan Anne melakukan toss.

Gisel naik ke permukaan, beruntung dia bisa berenang. Meskipun hanya gaya bebas, Gisel melap mukanya. Kemudian naik ke atas lagi. Pakaiannya kini menempel ke tubuhnya karena basah.

"Sialan, dadanya lebih besar dariku." Jovie mengusap dadanya. Kemudian Jenet dari belakang mendorong tubuh Jovie.

"Anak jaman sekarang memang agak kurang waras." Diandra tiba-tiba sudah disamping Gisel, menarik tangan Gisel ke arah rombongan ibu-ibu. Jia terkekeh melihat raut Gisel,"Gisel setidaknya kau sudah menjadi ibu-ibu, kailan sudah punya anak." Jia memberikan Darius di gendongannya pada Marsya.

"Lihatlah betapa imutnya anak ini," Marsya mencolek-colek pipi Darius membuat Darius tidak nyaman kemudian menangis. "Oh astaga, kau ini." Diandra merebut Darius.

"Hei Ibu Dian, kemarikan Darius dan Gisel. Kamu juga ingin bermain dengan mereka!" Lynn, kembaran Luna merengek. Dihadiahi anggukan Jenet dan saudara-saudaranya.

Sebuah lengan memeluk pinggang Gisel dari belakang."Tidak-tidak istriku tidak untuk dibagi-bagikan!" Darren menarik Gisel ke pinggir kolam renang dan dihadiahi sorakan. Tak lama kemudian isi kolam renang penuh karena berebut ingin menanyai Gisel.

Yah, setidaknya baik Gisel maupun Darren menikmati momen ini.
***

Malamnya setelah makan malam bersama, Darren cepat-cepat pergi ke kamar. Diikuti Gisel setelahnya.

Setelah Gisel masuk ke kamar, cepat-cepat Darren mengunci pintu."Kita harus segera keluar dari sini, besok ikutilah saranku. Ajak ayahmu juga. Besok kau akan ditemani Robert, dia sudah aku suruh untuk merahasiakan ini."

Gisel sebenarnya juga bingung kenapa Darren tidak terlalu menyukai keluarganya. Lihatlah siang tadi, Darren tampak menikmati waktu bersama keluarga.

Gisel mendudukkan tubuhnya di sofa. "Uhm, Darren. Maaf kalau ini tidak sopan, hanya saja aku penasaran dengan suatu hal. Boleh aku tanyakan?"

"Kenapa tidak? Tanyakan saja." Darren mendudukkan dirinya di samping Gisel.

"Uhm, kenapa kau terlihat tidak menyukai keluargamu?" Gisel memberanikan diri untuk menanyakan hal ini. Hal yang mengganjal di hatinya akhir-akhir ini.

Darren menghela napas."Tidak seharusnya kau membongkar masalah pribadi, tapi tidak apalah." Darren memberikan jeda sejenak.

"Ada kalanya menjadi seorang anak orang kaya itu tidak menyenangkan. Aku ingin bebas, bukan terkekang dalam ruangan penuh dokumen. Aku benci itu, diatur ini itu dengan kedok kebahagiaanku suatu saat. Memangnya dimana letak kebahagiaan? Mungkin saja pekerjaan itu membuatku stress dikemudian hari." Darren mengembuskan napas lelah.

"Tapi menurutku, kau memang layak bekerja disana. Alasan papamu juga cukup jelas, kau akan dihormati dengan posisi tinggi." Gisel menarik kesimpulan.

"Kau tidak akan tahu bagaimana rasanya ketika bakatmu ditindas dan dikubur begitu saja. Aku merasa tertekan, mungkin ini terdengar berlebihan. Tapi bukannya perasaan orang berbeda-beda?" Darren menjelaskan perasaannya. Secara tidak langsung, Darren mulai membuka dirinya kepada Gisel.

Gisel mengangguk, walaupun sebenarnya dia kurang peka dan respek, tapi entah kenapa melihat Darren yang memasang tampang suram itu terlihat ... Menyedihkan. Sebegitu beratkah beban di benak Darren. Gisel tau dia tidak bisa membayangkan hal yang lebih spesifik tentang masalah Darren.

"Kau tahu sendiri, aku sering menghibur diri di club-club. Meniduri wanita satu dan yang lain tanpa pernah memerhatikan mereka." Darren menjeda sejenak, sepertinya dia salah mengucapkan kalimat.

"Maksudku, siapa yang mau menanamkan saham dan menjalin kerjasama dengan perusahaan yang pemimpinya masih suka bermain-main dan tidak kompeten? Kau tahu, aku sebenarnya bukan pemimpin yang bagus." Darren mengubah topik. Sementara itu Gisel dibuat bingung sendiri dibuatnya, Gisel tidak sepintar itu untuk menyimpulkan sesuatu dan menganalisis secepat kilat dan tepat sasaran.

Gisel mengangguk, menepuk pundak Darren."Kau tahu? Aku merasa beban yang kau panggul begitu berat. Tapi jangan lupa, apapun yang kau lakukan itu adalah hal yang terbaik. Kau pasti sudah merencanakan hal baik pula."

Diam-diam kalimat konyol yang diucapkan Gisel membuat perasaan Darren tergelitik. Darren mengakui entah kenapa pembicaraan kali ini tidak sekaku dan secanggung sebelumnya. Apakah seperti ini pembicaraan orang yang mau terbuka?

Darren merasa dihargai, dihargai atas apapun yang telah dia ucapkan. Bahkan sekarang terpatri dalam hatinya, apa yang telah dia alami sampai saat ini adalah yang terbaik. Dan langkah-langkah berikutnya juga langkah-langkah yang terbaik.

"Sebenarnya, aku sedikit heran. Kenapa rasanya pembicaraan kita kali ini terdengar lebih normal?" Darren membuka suara setelah beberapa detik hening.

Gisel terkekeh mendengar ucapan Darren. "Benar juga ya? Kenapa aku ini benar-benar bodoh dan konyol sekali?"

Mereka berdua tidak tahu. Seseorang tersenyum begitu mendengar percakapan mereka. Senyum tulus bahagia.

A//N
Maaf kalau aneh dan updatenya ngaret. But, makasih tetap mau baca cerita aneh ini :') ini belum sampai konflik lho (jelas lah). Nah pokoknya aku mau membuat sesuatu yang rumit mulai 3.6 sampai bab 3 nanti :')

Hei! Aku ada penawaran! Tapi kalau nggak mau nggak papa. Kalau masih mau silahkan dibaca.

1. Aku akan triple update besok Selasa
Jika komentar di bab ini tembus 30.

2. Kalau kalian nggak mau update selanjutnya tunggu aja Sabtu/Minggu depan :')

Love you, betah-betah main disini ya :')

My Lovely Baby sitterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang