Prolog

2.7K 458 429
                                    

2014

Namanya Na Jaemin.

Waktu itu usianya 14 tahun.

Masih kecil. Masih muda. Tapi sebenarnya sudah dewasa. Hal itu一dewasa一tidak hanya ditentukan oleh usia saja bukan? Hidup yang keras, penderitaan, atau takdir yang kejam, bisa memicu mental seorang anak tumbuh lebih cepat.

Dalam kasus Jaemin, ia sudah merasakan ketiga-tiganya sekaligus sejak lama. Ketika ia sadar orang tuanya tidak menyukainya, karena alasan yang sangat sederhana : ia berbeda.

Perbedaannya kecil, tidak terlihat, tapi baik ibu dan ayahnya bersikap seolah itu adalah masalah besar.

"Jangan sampai orang lain tahu, Jaemin, kau mengerti?"

"Bersikaplah senormal mungkin! Jangan gunakan bakatmu sembarangan!"

Jangan, jangan, jangan!

Seumur hidupnya, Jaemin sudah sering mendengar kata itu. Sampai muak! Sampai tidak tahan! Padahal sudah berkali-kali ia bilang pada mereka, "Ya, aku mengerti" tapi tetap saja perintah itu di ulang lagi dan lagi. Seolah ia terlalu bodoh untuk memahaminya.

Padahal ia memang mengerti一sungguh. Di luar bakatnya yang tak biasa, ia sama dengan anak lain; suka bermain sepak bola, benci matematika, dan bersepeda ke sekolah. Normal. Ia bukan monster. Bukan pula orang aneh. Ia hanya ... Na Jaemin. Itu saja.

Lebih tepatnya, Na Jaemin yang ingin diterima oleh orang tuanya.

Tapi, ah sialan, yang terjadi malah sebaliknya.

Sehari setelah liburan tahun baru yang menyenangkan, yang jarang ia dapatkan, ibunya mengajaknya ke suatu tempat misterius. Gedung besar yang terletak di Naegok-dong, dekat markas pusat NIS. Tanpa papan nama, dengan kaca satu arah yang tak memberi celah bagi siapapun untuk mengintip. Sekilas tampak seperti gedung biasa, tapi yang membedakan, ada pagar tinggi yang mengelilinya.

Keanehan pertama.

Yang kedua, langsung Jaemin temui saat masuk ke dalam. Ia heran, melihat seorang gadis muda menyambut ibu dengan senyum lebar yang ganjil. Senyum yang tidak sampai ke matanya. Membuatnya tampak bagai boneka tanpa jiwa. Atau hyena paling berbahaya. Yang kemudian memperkenalkan diri dengan satu nama saja, "Sina".

Sina lalu membawa mereka ke ruangannya, melewati beberapa anak muda yang tampak sibuk. Sesekali si gadis menatapnya, dengan cara yang membuat Jaemin tidak nyaman. Terlalu intens. Tapi karena waktu itu mengira Sina adalah teman ibu, ia berusaha sopan.

Dalam hati bertanya-tanya, ini tempat apa?

Pertanyaan itu, pada akhirnya, akan terjawab, meski amat terlambat.

"Ini Jaemin," ucap ibu, menariknya agar duduk. Menghentikan gerakannya yang ingin melihat sebuah tongkat yang tersandar di dinding. Sepertinya tongkat wushu. Ruangan itu sendiri tidak menunjukkan kepribadian Sina. Segalanya formal. Mungkin gadis itu tidak mau ada yang menebak dirinya orang seperti apa. "Kau janji akan memperlakukannya dengan baik kan?"

"Tentu." Cepat, Sina menjawab. Suaranya seperti lonceng yang dibelai angin. Pelan, dingin. Menimbulkan desir tidak nyaman di punggung Jaemin, yang langsung menyahut, "Apa maksud ibu?"

Vogel Im Käfig ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang