03. Han Daekang

959 286 184
                                    

Namanya Mark Lee.

Si pria tampan yang tahun ini berusia 20. Si mahasiswa muda yang merupakan adik Taeyong. Si penyuka semangka yang lagi-lagi mimpi buruk. Entah untuk ke berapa. Mark tidak lagi menghitung karena itu terjadi terlalu sering.

Malam ini, setelah menyelesaikan kuliah yang melelahkan tapi menyenangkan, ia pulang dengan motornya seperti biasa. Menolak ajakan Lucas untuk nongkrong. Ada tugas yang harus di selesaikan, walaupun tenggat waktunya masih lama. Mark anak baik, dia tidak pernah menunda pekerjaan. Apalagi sampai bermalas-malasan. Karena ia tahu, tak semua orang seberuntung dirinya. Ada banyak anak-anak lain yang akan dengan senang hati bertukar posisi. Contohnya saja...

Oh tidak.

Lebih baik lupakan.

Jadi dia pulang. Begadang hingga pukul 10, lalu tidur setelah meneguk segelas susu. Ia masih ingat bagaimana rasanya一hangat dan sedikit terlalu manis, tapi punya efek menenangkan, mendorongnya terlelap dengan cepat.

Sayangnya, mimpi buruk itu hadir lagi.

Mengganggunya. Mengingatkannya pada kenangan yang tak ingin ia ingat. Datang bagai cengkeraman hewan buas yang melukainya. Tak bisa dienyahkan.

Mark ingat dia berteriak dalam mimpinya. Menangis. Menghindari orang-orang jahat yang sampai sekarang masih hidup. Menjauh dari mereka. Ia ingat ada sebuah tangan yang terulur padanya, mencengkeram dagunya dengan jari-jari yang terasa dingin, lalu menamparnya.

"Berhentilah melawan, atau ku patahkan lehermu. Kau tahu aku benci anak-anak kan Mark? Jadi jangan membuatku kesal."

Begitu orang itu bilang.

Tidak, monster itu.

Rasa sakit akibat tamparannya sangat nyata. Ketakutan yang ia timbulkan begitu besar, sangat besar, hingga membentuk ombak yang makin lama makin tinggi, menenggelamkannya.

Mark, yang saat itu masih kecil, tidak bisa berenang. Ia panik ketika kakinya tak lagi memijak apapun. Tubuhnya meronta. Ia merasa tercekik. Sulit bernapas. Sementara si monster menertawakan, sangat terhibur oleh penderitaannya.

"Lihat kan? Mau seberapa lama pun kau pergi, kau sebenarnya tidak pernah benar-benar pergi!"

Dia benar, tentu saja. Mark menyadari kebenaran pahit kata-katanya. Yang membuat ia tenggelam semakin dalam. Disana, di laut tanpa dasar itu. Dengan kegelapan abadi yang mengurungnya, menghancurkan jiwanya perlahan...

Tapi mendadak, semua hilang.

Ia terbangun. Tersentak bangun. Seluruh tubuhnya bersimbah keringat yang membuat kulitnya jadi licin. Kamar itu seolah menyempit, tak menyediakan oksigen yang cukup. Padahal itu hanya ilusi. Ilusi. Sama sekali tidak nyata. Tapi tetap saja, ia gemetar. Selama beberapa menit, Mark hanya duduk di tempat tidurnya, berusaha bernapas dengan normal. Mengutuk diri sendiri.

Sudah bertahun-tahun berlalu, tapi Mark masih tak bisa menyingkirkan ketakutan itu. Masih menjadi anak-anak cengeng tiap dihadapkan pada masa lalu, bahkan meski hanya lewat mimpi. Sungguh menyedihkan.

Ia tertawa. Parau. Tenggorokannya sakit. Dan meski tahu tak akan ada apa-apa, Mark tetap melongok ke cermin, memeriksa pipinya.

Cuma mimpi, cuma mimpi.

Ia mengatakan itu berkali-kali, sembari berjalan untuk mengambil air minum. Namun tanpa sengaja, ekor matanya menangkap sebuah foto di dinding. Tepat di atas laci.

Vogel Im Käfig ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang