07. Teman Lama

722 244 174
                                    

Kalau ada yang bertanya pada Mark Lee Taeyong itu orang seperti apa, Mark pasti akan menjawab kalau dia kakak yang baik. Dan itu memang benar; sesibuk apapun, Taeyong selalu memastikan Mark makan dengan layak, peduli pada kuliahnya, juga melindunginya menggunakan segala cara yang ia bisa.

Tapi ada saat-saat dimana kelembutan Taeyong hilang. Ia bisa jadi keras menyangkut hal-hal tertentu, terutama ketika melatih Mark.

Minimal 2 kali seminggu, Taeyong berubah peran dari kakak menjadi pelatih kejam, mengajari Mark segala hal yang menurut pria itu perlukan. Mulai dari menembak, bela diri, dan tak lupa, mengawasi perkembangan bakatnya.

Bagi Taeyong, semua itu sama pentingnya一kalau bukan lebih penting一dengan pelajaran yang diterima Mark dari universitas.

Jadi dia tidak pernah main-main.

"Apa usiamu 9 tahun? Kenapa pukulanmu selemah itu? Lebih keras lagi, Mark, lebih keras!"

Mark, yang kedua tangannya dilapisi hand wrap, berusaha mengatur pernapasannya. Butiran-butiran keringat meluncur turun dari dahinya, membentuk sungai kecil sebagai bentuk protes dari otot-ototnya yang seolah menjerit. Ia lelah. Tapi kakinya yang kembali terbuka, sejajar dengan bahu, menandakan dia akan mencoba lagi. Lututnya agak menekuk. Ia menghitung hingga 3 dalam hati, lantas mengayunkan kepalan tangannya ke punch mitt yang dipakai Taeyong.

Ruang latihan yang ada di rumah itu seketika dipenuhi oleh suara pukulan yang Mark sebabkan.

"Apa dia masih belum ketemu?"

Taeyong menggeleng, memberi kejutan dengan tiba-tiba mengangkat kakinya, menyasar tepat ke wajah Mark.

Namun di detik terakhir, refleks Mark menyelamatkannya, membuat ia menunduk dan menangkap kaki itu di udara.

"Dia benar-benar hilang," jawab Taeyong, pelahan meloloskan diri dari cengkeraman sang adik. Mengangguk kecil sebagai bentuk apresiasi. "Mungkin ada yang menolongnya?"

"Atau mungkin," Mark membalas, melontarkan pukulan hook, yang bisa sangat berbahaya, terarah ke dada Taeyong yang tidak terlindungi. Ia mengambil kesempatan, berharap kecepatan cukup menjadikannya pemenang一sesuatu yang jarang terjadi. Tangan kanannya一tangan yang paling kuat dan dominan pun bersiap, bersamaan dengan napas yang ia hembuskan.

BUK!

Tapi tidak semudah itu. Taeyong berhasil menangkis. Punch mitt dan tangan Mark beradu, mencegah dada Taeyong dari cidera. Namun kaki kakaknya yang mundur ketika menahan pukulan itu membuat Mark puas. Penghiburan tersendiri buatnya. "Mungkin ia memaksa orang menyelamatkannya?"

"Bisa jadi," Taeyong mengangkat bahu, tidak yakin, sambil menjatuhkan tubuhnya di atas matras yang empuk, tanda latihan telah usai. "Rim memberiku tenggat waktu sampai besok, tapi sejujurnya, aku tidak ingin dia kembali. Anak itu kerjanya cuma membuatku sakit kepala."

Tawa rendah keluar dari bibir Mark selagi ia ikut berbaring, memeriksa buku-buku jarinya yang sedikit memerah. Hand wrap mulai ia lepas. Lalu ia letakkan di sebelahnya, teronggok seperti pita sepatu pada balerina. "Tapi kalau begitu, Rim pasti akan menghukummu kan? Berdoa saja semoga kali ini kau dipecat."

"Ha!" Taeyong terbahak, sangat keras hingga nyaris tersedak. Kata 'dipecat' adalah lelucon yang sangat lucu di telinganya. Ia tidak tahan. Perutnya sampai terasa sakit karena terlalu banyak tertawa. "Itu mustahil. Rim memang membenciku, tapi dia tahu aku berguna. Sampai sekarang, tak ada yang mendekati apalagi menyamai rekorku. Tidak Han, atau bahkan Doyoung."

Vogel Im Käfig ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang