21. Saat Takdir Bermain-main

547 149 44
                                    

Apa yang sudah kulakukan?

Kim Doyoung menatap tangannya sendiri, dan jatuh bersimpuh di dekat tubuh yang telah ia bunuh. Rim; mentornya, atasannya, kakak keduanya, sudah mati karena tangan ini. Doyoung membunuhnya, sebagai ganti nyawanya dan orang-orang yang ia sayang, dan fakta itu terasa pahit, terasa seperti sesuatu yang tidak nyata.

Sekarang, tidak ada lagi orang yang akan menepuk bahunya, memuji, "Bagus sekali, Doyoung", setelah ia menyelesaikan suatu misi atau mengajaknya main catur bersama. Kedua kalinya, Doyoung kehilangan kakaknya karena alasan, penyebab, dan cara yang berbeda. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak tahu harus bagaimana.

Dengan pilu, Doyoung menatap setiap lekuk wajah dan tubuh Rim sampai pandangannya buram karena air mata. Pipinya basah. Dadanya sesak. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama一yang ia sendiri tidak ingat一Doyoung menangis.

"Maafkan aku." Lirih, Doyoung berkata pada Rim yang takkan pernah mendengarnya lagi. "Aku minta maaf..."

Permohonan maaf itu hanya melayang ke awan-awan dan didengar oleh dedaunan yang bergemerisik pelan.

Seluruh dunia rasanya berubah hening. Tidak ada yang bergerak, semuanya bagai terlelap. Semuanya diam. Hanya ada detak jantungnya sendiri yang berdegup kencang dalam dada. Duk, duk, duk. Begitu keras mengingatkan Doyoung bahwa dia masih hidup dan ada banyak hal yang masih harus ia kerjakan.

Sampai sebuah suara一isakan menyesakkan, raungan tertahan一menginterupsi dan masuk ke telinga Doyoung.

"Jaemin..." Sejeong juga menangis, untuk orang lain yang sama sekali lain.

Pelan, Doyoung bangkit. Tungkai kakinya terasa lemas, tanpa tenaga. Ia seperti mesin yang kehabisan daya, tapi ia orang yang keras kepala dan dengan segenap kengototan, dia bisa berdiri. Dia berjalan ke arah Sejeong. Satu, dua. Satu, dua. Setiap langkah terasa seperti mendekati mimpi buruk.

Barangkali, kematian Rim bukanlah kematian terakhir yang ia akan ia saksikan hari ini.

Karena di sana, dalam rangkulan Sejeong, Na Jaemin berbaring di genangan darahnya sendiri. Seperti danau kecil yang semakin membesar, darahnya banyak sekali, mengucur dari 2 luka di tubuhnya tanpa henti. Usaha Sejeong menyelamatkannya dengan menekan luka itu tidak membuah apapun.

Apa kata Rim tadi?

Tapi kau gagal menolongnya.

Benarkah itu?

"Jaemin." Doyoung memulai, tapi lalu bibirnya terkatup lagi karena kata-kata seakan melarikan diri darinya. Apa yang harus ia katakan dalam situasi ini? "Jaemin, jangan一"

Jangan mati, itulah yang ingin Doyoung utarakan, tapi dia tidak sanggup. Dia juga tidak mampu bila harus menghadapi kematian lagi. Ini sudah terlalu banyak.

"Aku akan membelikanmu hoverboard. Skuter konyol itu. Kau menginginkannya kan? Tidak perlu main catur, aku tahu kau pasti kalah. Aku akan langsung membelikan itu untukmu. Asal kau terus..." Doyoung menelan ludahnya. "Bertahan."

Dia tahu dia sedang mengoceh sekarang, tapi hanya itulah yang bisa dia lakukan. Dia ingin berkata, "Sejeong, jangan menangis. Dia akan baik-baik saja", tapi dia tidak bisa mengatakan sesuatu yang dia sendiri tidak yakini. Doyoung takut, nantinya kalimat itu akan menjadi sebuah kebohongan.

"Jaemin, dengarkan aku." Sejeong menyeka air matanya. "Jangan pergi kemana-mana. Ayo kita cari Renjun bersama-sama. Renjun masih ada di lab kan? Kita一kita akan menjemputnya, jadi bertahanlah. Kau mengerti?"

Jaemin tersenyum. Sebutir air mata mengalir menuruni pipinya. "Renjun一" Matanya terpejam sesaat ketika rasa sakit mengguncangnya. "Dia ... dipanggil 233 di lab."

Vogel Im Käfig ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang