Bunyi desahan terdengar di sepenjuru kamar. Aroma keringat berbaur dengan wangi pengharum ruangan beraroma kopi. Di tengah-tengah napas yang terputus-putus, seorang lelaki terus menggerakkan pinggulnya untuk menumbuk bagian terdalam dari sosok pemuda yang berbaring di atas kasur dengan keadaan sangat berantakan.
Kesadaran pemuda tersebut hanyalah tertinggal setengah dan menjadi kesempatan bagi si lelaki untuk menikmati tubuh si pemuda. Seutuhnya.
Godaan jari-jari sang lelaki membuat sang pemuda semakin menggila. Tubuhnya mengejang hingga ia mengeluarkan suara erangan tanpa sadar. Tangan si pemuda terkepal kuat. Kedua matanya membelalak saat sesuatu yang deras mengalir di bagian bawah tubuhnya dan membasahi bagian kedua perut mereka.
Usai mendapatkan kenikmatan duniawinya, ia pun terkulai lemas, tetapi ... berbeda dengan dirinya yang sudah sangat kelelahan hingga untuk membuka mata pun sulit, laki-laki di atas tubuhnya masih dengan setia menggali kenikmatan.
Gerakan laki-laki tersebut sungguh liar dan cepat. Ia menaikkan kedua tungkai kaki si pemuda lebih atas dan menggerakkan dirinya hingga geraman keras keluar dari mulutnya dan sesuatu yang ditunggunya sejak tadi pun keluar sebelum lelaki tersebut terbaring lemas.
.
.
.
"Nda, loe udah tahu gosip terbaru tentang Pak Evans, belum?"
Mendengar nama yang disebut oleh teman dekatnya, Wanda berhenti untuk mencicipi kopi hitam yang beberapa menit lalu baru dipesannya. Jantungnya berdenyut nyeri dan napasnya sedikit tertahan ketika nama tersebut terdengar di telinganya. Wanda pun memejamkan mata sejenak sebelum memasang senyumnya kembali, berharap orang di seberang sana tidak merasakan perubahan sikapnya.
" ... "
Wanda memilih untuk diam, membiarkan sahabatnya yang ada di ibukota melanjutkan pembicaraan.
"Seluruh kantor kaget begitu dengar Pak Evans akhirnya memutuskan untuk berhenti melajang," ucap gadis tersebut, membuat Wanda menghela napas keras.
"Feb, di Jakarta masih jam kerja, 'kan? Bergosip di saat jam kantor merupakan salah satu pelanggaran jam kerja," Wanda memperingati dengan nada kaku. Biasanya ia tidak pernah seketat ini, tetapi keinginannya untuk mengakhiri pembicaraan telepon ini membuat Wanda mencari seribu alasan.
"Alah, Nda. Loe kaku banget, sih. Santailah, penting pekerjaan kita beres, 'kan?" Feby terdiam sejenak. "Tapi, gue heran, deh, kenapa Pak Evans kejam banget sama loe. Loe, 'kan, sekretarisnya, tapi, kok, dikirim ke tempat-tempat yang ... gitu, deh!"
Wanda sendiri tidak terlalu mengerti kenapa dia bisa terdampar di tempat ini sendirian. Bertahun-tahun bekerja di bawah laki-laki yang dipanggil Evans, Wanda tidak pernah terlepas dari Evans. Bisa dibilang, orang-orang mengatakan setiap ada Evans di situlah ada Wanda, sehingga di saat Evans mengutus Wanda untuk pergi sendiri ke tempat jauh dan asing sendirian, kantor pun menjadi ribut dan gosip mengenai Wanda akan dipindahtugaskan pun bertiup kencang.
"Ya, namanya tugas mau gimana lagi?" ucap Wanda, tidak memiliki jawaban lain.
"Tapi loe di sana aman, 'kan?" tanya Feby dengan nada cemas, membuat Wanda mengerti, jika Feby rela melanggar aturan kantor karena begitu cemas dengan keadaan Wanda di tempat ini. Tempat yang terkenal keras dan ganas dengan angka kejahatan relatif tinggi.
" ... "
Wanda hanya diam karena ia tahu fisiknya merasakan rasa aman, tetapi ... hatinya tidak. Ia benar-benar hancur.
"Nda?"
"Aman. Santai aja." Wanda terkekeh—memanipulasi dirinya sendiri dan orang-orang sekitar—menjawab sebelum mereka kembali berbasa-basi dan hubungan telepon pun terputus.
YOU ARE READING
Butterfly Effect
RandomKonten dewasa 21+ Mini Event Team : D Tema : Sekretaris Finalis Tema : Jugun Ianfu