Deja Vu 3

365 7 1
                                    

"Engh ... ah ... ah!" Orihime memperlebar pahanya, memberi keleluasaan lebih pada pria yang kini memaju-mundurkan pinggul di selangkangannya.

Kimono merah yang ia kenakan sudah tersingkap, payudara bundar dan pahanya telah terbuka. Pria kekar dengan banyak luka di dadanya menekan tubuh Orihime. Tangannya yang kapalan meremas buah dada. Ciuman-ciuman, isapan dan remasan menyerang dua payudara kenyal.

Bedak putih yang dibubuhkan di wajah Orihime mulai luntur karena keringat. Reaksi biologis tubuhnya membuatnya membenci diri sendiri. Dirinya telah terbiasa dengan hubungan badan yang menjadi keharusan dalam pekerjaannya, tapi menghadapi pria seperti Himura membuatnya semakin mengutuk diri sendiri.

Pria ini tidak seperti pria lain yang hanya akan memasukkan penisnya pada kemaluan Orihime. Andai saja itu yang pria ini lakukan, Orihime tidak akan semakin jijik pada tubuhnya sendiri.

"Arghh!" itu bukan erang pura-pura yang biasa Orihime lakukan. Itu adalah desah murni yang tercipta saat klitorisnya dibelai oleh tangan kasar. Gesekan benda keras yang keluar masuk tubuhnya, dan belaian pada klitoris dan payudaranya membuat Orihime menggelinjang. Pinggulnya tanpa terkontrol mengangkat dan menyesuaikan ritme dengan dorongan dari pria yang menggagahinya.

Inilah yang paling Orihime tidak sukai dari kunjungan Himura. Pria dengan kumis tipis dan mata tajam itu, lebih menyukai melihat Orihime tersiksa berahi daripada cepat-cepat melampiaskan gairahnya sendiri.

"Kimochi, ne?" Orihime telah beberapa kali mendengar kata itu, walau tidak tahu pasti artinya, tapi dia bisa menebak. Jika pelanggan lain yang mengatakan itu, dia pasti mengangguk, tapi tidak kini, dia tidak ingin memberikan pria ini kepuasan itu.

Orihime hanya dapat melingkarkan lengannya ke leher Himura ketika pria itu mengangkat tubuhnya dengan begitu mudah ketika tubuh mereka masih menyatu. Lelaki Jepang itu berdiri membawa Orihime, menaik turunkan tubuhnya bagai tanpa beban. Dia tidak pernah diperlakukan seperti ini.

"ARGH! AH AH!" Lontaran desahan tidak dapat lagi Orihime bendung, tubuhnya bagai dimasuki begitu dalam.

Dia seperti kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri. Gerusan rasa nikmat dalam setiap hujaman pria itu membuat Orihime semakin gila. Geli kumis yang menggesek telinganya mengirim aliran listrik sepanjang punggungnya.

"Kawaii!" Bersamaan dengan bisikan itu, Orihime dihujam begitu kuat. Punggungnya melengkung, kakinya semakin kuat menjepit pinggang pria yang menggendongnya. Matanya terpejam, aliran bagai ombak yang terus menerpa membuat tubuhnya bergetar. Tidak pernah dia merasa seperti ini. Tubuhnya seperti meledak dalam jutaan cahaya.

Orihime membuka matanya, mata sehitam malam balik memandangnya. Ciuman lembut dan gelitik kumis di bibirnya membuat Orihime kembali memejamkan mata. Dia lupa segala hal ketika berada dalam pelukan pria ini.

Hingga, teriakan pilu dan tawa membahana yang merambat dari bawah kamarnya pun tidak dia dengar lagi.

.

.

.

"Minum!"

Aroma jahe bercampur akar kapas menguar di udara, gadis belia itu menggelengkan kepala, isak tangisnya semakin keras memenuhi ruangan. Badan kurusnya meringkuk di sudut kamar sempit yang hanya diisi dipan. Rambut hitamnya lepek, kain yang melilit tubuh tidak bisa menutupi bekas biru serta gigitan di leher dan pundak kuningnya.

"Sebaiknya cepat minum, jika tidak, kamu bisa bunting." Perkataan itu membuatnya mendongakkan kepala. Kalimat dari wanita berkulit bersih dan berparas ayu di depannya membuat darahnya mendingin.

Secepat kilat tangan kurusnya menyambar gelas berisi cairan kuning itu. Mengabaikan rasa pahit dan getir, dirinya langsung menegaknya hingga tandas. Membayangkan dirinya hamil karena manusia-manusia anjing yang menggaulinya paksa, membuatnya ingin muntah.

Butterfly Effect Where stories live. Discover now